INFO PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN(PDPI) dari KKP [13-15 September 2013 ] : DPI Jawa Bali dan Nusa Tenggara : DPI (122’34’’21.9’’’BT, 9’12’’3.1’’’LS) Potensi (111’18’’54.2’’’BT, 8’46’’7.7’’’LS) (112’4’’59.4’’’BT, 8’27’’50.7’’’LS) (115’28’’3.7’’’, 9’7’’43.9’’’LS) (115’26’’37.2’’’BT, 9’26’’27.2’’’LS) (107’17’’23.2’’’BT, 8’0’’2.5’’’LS) DPI Kalimantan : -- DPI Maluku Papua : -- DPI Sumatera : Potensi (104’55’’48.3’’’BT, 6’27’’52.0’’’LS) DPI Sulawesi : Potensi (118’43’’55.8’’’BT, 1’45’’35.1’’’LS)

Sunday, October 16, 2011

Komponen Fisik Air Laut

Modul 5. Karakter Fisik Air Laut
(Oleh : Mukti Dono Wilopo, S. Pi dan M. Tri Hartanto, S. Pi)

TUJUAN PRAKTIKUM
Setelah Setelah mengikuti praktikum ini, mhs dapat menghitung, salinitas berdasarkan konduktivitas,  densitas air laut dan cepat rambat suara di dalam laut, menghitung kedalaman laut berdasarkan tekanan, dan menentukan suhu potensialnya dengan mengunakan MATLAB.

I. Salinitas
         Air laut sebagian besar terdiri dari air (± 96.5%) dan sisanya terdiri dari komponen anorganik terlarut (3.5%).  Telah umum kita ketahui bahwa garam yang dominan adalah NaCl, sehingga tingkat keasinan (salinitas) di suatu perairan laut dapat diketahui dengan cara pengukuran.  Salinitas sendiri dapat didefinisikan sebagai jumlah total (gr) dari material padat termasukgaram NaCl yang terkandung dalam air laut sebanyak 1 kg (dimana bromin dan iodin diganti dengan klorin dan bahan organik seluruhnya telah dibakar (oksidasi) habis (Forch et al., 1902).
Pengukuran salinitas semula dilakukan dengan cara tidak langsung, yakni melalui pengukuran klorinitas. Adapun sistematikanya adalah sbb:
Titrasi: Argentometri
Larutan titran:AgNO3 0.0141 N
Indikator:K-bikhromat (K2CrO7) 3 tetes
Reaksi kimia:
NaCl+AgNO3-------NaNO3+AgCl
K2CrO7+2 AgCl------Ag2CrO7+2 KCl
KCL+AgNO3-------KNO3+AgCl
NaNO3+KCl-----KNO3+NaCl
2 AgNO3+K2CrO7-------2 KNO3+AgCrO7
Akhir dari titrasi adalah terbentuknya endapan Ag2CrO7 berwarna merah.
Klorinitas(‰) = ml nilai titran terpakai x 0,0141 x 1000 x pengenceran/vol(ml) sampel.
Untuk perhitungan nilai salinitas dari klorinitas pada awalnya memakai rumus Knudsen dan Sorensen (1902) sebagai berikut:
Salinitas (‰) = Klorinitas (‰) x 1,8050 + 0,03
Setelah dikoreksi tahun 1967:
Salinitas (‰) = Klorinitas (‰) x 1,8066
         Dengan metode ini masih ditemui kesalahan menyangkut human error sehingga perlu dikoreksi dengan angka sebesar 0,005 (‰).  Metode pengukuran salinitas dengan mempergunakan dasar nilai konduktivitas air laut pertama kali diperkenalkan pada tahun 1930-an (Sverdrup et al., 1942).  Untuk melakukan perhitungan salinitas sangat tergantung pada faktor suhu sehingga pengukurannya harus bersamaan dengan pengukuran suhu yang berakurasi yang cukup tinggi.  Metode ini dibakukan pada tahun 1978 dengan sebutan Practical salinity Scale (PSS78), dengan satuan Psu (Practical Salinity Unit) atau bisa ditulis tanpa satuan.
UNESCO Practical Salinity Scale of 1978-PSS78
Pengukuran Nilai Salinitas dengan metode PSS 1978 adalah sebagai berikut:
Dimana
Conductivity ratio (RT) = (konduktivitas sampel)/(Konduktivitas standar) x RT Standar
Dan

a0 = 0.0080,   a1 = 0.1692,   a2 = 25.3851,   a3 = 14.0941,   a4 = -7.0261,   a5 = 2.7081

b0 = 0.0005,   b1 = -0.0056,  b2= -0.0066,    b3 = -0.0375,    b4=     0.0636,     b5 =-0.0144

Standar konduktivitas air laut adalah 57,015 µS/cm dan Conductivity ratio standar air laut adalah 0.9973.  Sebagai contoh, sampel air laut pada suhu 28°C dengan conductivity ratio (R28) 0.9398 mempunyai nilai salinitas 32.688 Psu.

II. Kecepatan Suara
Di atmosfer kecepatan suara teratenuasi lebih besar daripada cahaya (sebagai bagian dari spektrum yang visibel), namun di perairan terjadi hal sebaliknya.  Pada perairan yang jernih, cahaya dapat masuk hingga kedalaman 100m, ketika seseorang menyelam ia dapat melihat objek hingga 50m.  Dengan menggunakan media penglihatan, manusia tidak terlalu banyak memperoleh informasi terutama untuk perairan yang dalam.  Dengan menggunakan echosounder, dasar perairan dapat diperhitungkan.  Dengan SONAR juga, arah dan tujuan dari kapal selam dapat ditentukan, selain dapat mendeteksi objek-objek yang ada di sekitarnya.  Untuk keperluan itu faktor kecepatan suara di perairan perlu untuk diketahui, guna memperhitungkan jarak deteksi yang dilakukan suatu instrumen tergantung dari frekuensi yang dipergunakan (C=n.λ).
Perhitungan kecepatan suara adalah sebagai berikut :
C = 1449 + 4,6 T – 0,55T2 + 1,4 (S-35) + 0,017 D  
Dimana :
C   = Kecepatan suara (m/s)
T   = Suhu (°C)
S   = Salinitas (‰)
D   = Kedalaman
Ket : 1 bar = 1019.7466 cm H2O
III. Konversi dari Tekanan (Pressure, desibar) ke Kedalaman (Depth, meter)
1.    Perairan Tawar
Dikarenakan perairan air tawar biasanya dangkal, maka presisi yang tinggi tidak terlalu diperlukan, sehingga biasanya sebagian besar peralatan mengacu pada rumus sebagai berikut:
Kedalaman (meters) = Tekanan (decibars) * 1.019716
2.    Perairan Laut
Pada perairan laut, kedalaman dihitung dengan mengansumsikan perairan pada suhu 0 °C (T = 0) dan 35 PSU (S = 35).  Formula berdasarkan UNESCO Technical Papers in Marine Science No. 44 (1983).
Variasi gaya gravitasi pada lintang dan tekanan yang berbeda dihitung dengan:
g (m/sec2) = 9.780318 * [ 1.0 + ( 5.2788x10-3 + 2.36x10 -5 *x)* x + 1.092x10-6 *p]
kemudian, kedalaman dihitung dari tekanan:
Kedalaman = [(((-1.82x10-15*P + 2.279x10-12 )*P - 2.2512x10 -5 )*P + 9.72659)*P]/g
dimana
x = [sin (latitude / 57.29578)] 2
P = tekanan (decibars)
g = gravitasi (m/sec2)

IV. Suhu Potensial (θ)
Suhu potensial didefinisikan sebagai suhu suatu perairan laut pada tekanan tertentu yang dipindahkan secara adiabatik tanpa perubahan salinitas ke tekanan atmosferik.  Secara lebih umum suhu potensial dapat didefinisikan sebagai suhu hasil pemindahan adiabatik ke tekanan referensi (Pr) dari tekanan mula-mula P, suhu potensial dapat dihitung dari laju perubahan adiabatik ().
dengan mengintegrasikan sepanjang adiabatik pada tekanan P hingga Pr, dimana = .
Suhu potensial dapat ditentukan dengan menggunakan sebuah rumus empiris atau dengan integrasi numerik.  Untuk menghitung persamaan tersebut digunakan metode Runge Kutta dan iterasi Newton Raphson berdasarkan Bryden (1973) .
Gradien suhu adiabatik dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
 (S , T ,P)     = a0 + (a1 + (a2 + a3*T)*T)*T + (b0 + b1*T)*(S-35) +
((c0 + (c1 + (c2 + c3.*T)*T)*T) + (d0 + d1*T)*(S-35))*P
+ (e0 + (e1 + e2*T)*T)*P*P



Dimana :
a0 = 3.5803E-5:                         c0 = +1.8741E-8;                       e0 = -4.6206E-13;
a1 = +8.5258E-6;                       c1 = -6.7795E-10;                       e1 = +1.8676E-14;
a2 = -6.836E-8;                          c2 = +8.733E-12;                       e2 = -2.1687E-16;
a3 = 6.6228E-10;                        c3 = -5.4481E-14;

b0 = +1.8932E-6;                       d0 = -1 1351E-10;
b1 = -4.2393E-8;                        d1 = 2.7759E-12;

Untuk menghitung suhu potensial θ (S,T,P,Pr) pada tekanan referensi Pr dengan ketelitian yang cukup digunakan metode Runge Kutta ordo ke-4 (Fofonoff, 1977).  Jika So,To,Po adalah nilai insitu, maka suhu potensial θ pada Pr dihitung dengan :
Δθ1 = ΔP . F (So,To,Po)                                       θ1 = To+ 1/2 . Δθ1
Δθ2 = ΔP . F (So,θ1,Po + 1/2 ΔP )             θ2 = θ1 + (1 - 1/√2)( Δθ2 - q1)
Δθ3 = ΔP . F (So,θ2,Po + 1/2 ΔP)              θ3 = θ2 + (1 + 1/N2)( Δθ3 – q2)
Δθ4 = ΔP . F (So,θ3,Po + ΔP)                                θ4 = θ3 + 1/6 (Δθ4 – 2q3)

q1  = Δθ1
q2  = (2 - √2) Δθ2 + (-2 – 3/√2) q1
q3  = (2 + √2) Δθ3 + (-2 – 3/√2) q2
ΔP = Pr Po

θ (S,T,P,Pr) = θ4
Error dari perhitungan di atas adalah kurang dari 0,1 x 10-3 °C untuk ΔP=10000 decibar. Standar untuk menguji rumus tersebut suhu potensial untuk perairan pada salinitas S=40‰, suhu T = 40°C, dan tekanan P=10000 decibar adalah θ=36,89073 °C.

V. Densitas Air Laut
Densitas, ρ didefinisikan sebagai massa per satuan volume (g cm-3).  Densitas air laut tergantung pada suhu t dan salinitas s sampel dan juga tekanan air laut p sebagai hasil dari kompresibilitas air.  Densitas air laut lebih besar dari pada densitas air murni karena adanya kandungan garam (Neuman dan Pierson, 1966).  Di permukaan laut, rata-rata densitas sekitar 1.025 g cm-3.  Di dalam oseanografi fisik dibutuhkan akurasi penulisan densitas air laut sekitar lima tempat desimal.  Sebagai contoh, suhu air laut adalah t=20 oC dan salinitas S=35‰, densitas air laut pada tekanan atmosfer ρ=0 adalah 1.02478 g cm-3.  Karena penulisan angka dari densitas air laut selalu dimulai dari 1.0... (dengan pengecualian pada suhu tinggi dan salinitas < 5 ‰) maka untuk menyederhanakan angka tersebut dikenalkan besaran :
            σ s,t,p = (ρs,t,p – 1 ) X 103
dimana ρs,t,p adalah fungsi dari salinitas, suhu dan tekanan air laut. Jika densitas air contoh ditentukan pada tekanan atmosfer (pada tekanan air laut p=0), maka cara penulisan densitas air laut adalah :
            σ s,t,0 = (ρs,t,0 – 1 ) X 103
dan nilai tersebut disebut nilai sigma-t (s-t). Nilai s-t hanya tergantung pada densitas dengan suhu dan salinitas yang berbeda. Nilai s-t dari contoh air dengan suhu 20oC dan salinitas 35 ‰  (ρ= 1.02478) didapatkan s-t = 24.78. Sigma-t selalu mengacu densitas pada tekanan atmosfer dimana nilai ss,t,p mendapat tambahan karena pengaruh tekanan laut.  Densitas, ρs,t,p atau dikenal dengan ss,t,p disebut densitas insitu.
Penentuan densitas secara langsung dengan metode fisika seperti hydrostatic weighing, yang menggunakan prinsip Archimedes, atau dengan menggunakan piknometer adalah tidak praktis dalam oseanografi.  Metode fisika tersebut tidak cocok dilakukan di kapal karena metode tersebut berat untuk dilakukan. Cara lain yaitu dengan perubahan dari indeks refraktif terhadap densitas dengan menggunakan interferometer dan kemudian ditentukan densitas contoh.  Hubungan antara densitas pada suhu 0°C dan salinitas (s), pertama kali ditentukan oleh Knudsen (1902).  Jika σ0 dinyatakan dengan nilai (ρs, t, p -1)x 103, yaitu pendekatan penulisan dari ρs, 0, 0 yang merupakan fungsi s saja:
            σ0 = -0.093+0.8149S-0.000482S2+0.0000068S3
Perhitungan pengaruh suhu terhadap densitas membutuhkan pengetahuan tentang ekspansi termal air laut.  Hubungan ini pertama kali diteliti oleh Forch (1902) in Neumann and Pierson (1966) di bawah tekanan atmosfer dalam laboratorium, yang menghasilkan suatu fungsi empiris untuk menghitung nilai σt dan dari nilai σ0 yang diketahui
            σt = A + B σ0 + C σ02
koefisien A, B dan C masing-masing merupakan fungsi suhu yang berdasarkan persamaan :
            A = (4.53168t – 0.545939t2 – 1.98248x10-3t3 – 1.438x10-7)/(t+67.26)
            B = 1 – A t               C = B t
Dimana t menyatakan suhu (oC) dan A t, B t diperoleh dari persamaan berikut :
            A t= t (4.7867 – 0.098185t + 0.0010843t2)x10-3
                        B t= t (18.030 – 0.8164t + 0.01667t2)x10-6
Nilai αs, t, p dapat ditulis αs, t, p = α35 + Δs, 0 + Δt, 0 p dimana Δs, Δt, Δp adalah deviasi salinitas, suhu dan tekanan di laut yang sesungguhnya dari nilai S= 35 0/00, t=0 0C, dan p=0 (tekanan nol laut).

Daftar Pustaka
Bryden, H. L., 1973. New polynomials for thermal expansion, adiabatic temperature gradient
and potential temperature of seawater. Deep Sea Res., 20, 401-408.

Fofonoff_, N. P., 1977. Computation of potential temperature of seawater for an arbitrary
reference pressure. Deep Sea Res., 24, 489-491.

Knudsen, M., C. Forsch and S. P. L. Sorensen, 1902. Berichte uber die Konstantenbestimmungen
zur Aufstellung der Hydrographischen Tabellen. D. Kgl. Danske Vidensk.Selsk. Skrifter, Naturvidensk. og mathem., Afd. XII, 1, 1-151.

Neumann, G dan Pierson, J. r. 1996. Principle of oceanography. Prentice Hall, Inc. Engglewood Cliff.

Sverdrup, H. U., M. W. Johnson, and R. H. Fleming, 1942. The Oceans, Prentice-Hall, New Jersey,   1087 pp.

~ Selamat Belajar~

Resume Journal of Remote Sensing


Satellite-driven modeling of the upper ocean mixed layer and airsea CO2 flux in the Mediterranean Sea


Fabrizio DOrtenzioa, David Antoinea, Salvatore Marullo


Resume:

Fluks CO2 udara laut, ekspor karbon ke lapisan dalam, dan lebih umum anggaran karbon saat ini buruk ditandai di Laut Mediterania. Suatu pendekatan terhadap simulasi flux ini pada skala regional diusulkan, berdasarkan pada array tidak berhubungan satu dimensi (1D) model fisik-biologi-kimia digabungkan. Alasannya adalah untuk massal mengasimilasi informasi satelit, di satu sisi untuk memperoleh fluks panas permukaan akurat, dan di sisi lain, untuk  perhitungan implisit  untuk proses horisontal tidak secara eksplisit direpresentasikan dalam skema 1D. Metode ini diterapkan  untuk mensimulasikan fisik laut dan biogeokimia atas dinamika dari Laut Mediterania  selama bertahun-tahun 1998-2004, dan pada resolusi 0,51 spasial. Lapisan-campuran siklus tahunan divalidasi terhadap nilai-nilai yang ditentukan dari database di profil suhu in situ, mendemonstrasikan validitas pendekatan di berbagai fisik laut. Sebuah validasi dari simulasi siklus tahunan dari total karbon anorganik (tCO2) dan karbon dioksida tekanan parsial (pCO2) adalah dipresentasikan pada sebuah situs pengukuran di Mediterania barat laut dimana kedua sifat ditentukan pada tahun 1998-1999 dan pada tahun 2003-2004. Sebuah validasi tambahan pCO2 bidang disajikan dengan menggunakan data sepanjang jalur yang dikumpulkan selama Productivite'''des Akademik Pasim `mes OCE' aniques lagiques Pe '''(PROSOPE) cruise. Udara-laut skala cekungan karbon anggaran berasal dari model output menunjukkan bahwa Laut Mediterania, selama masa studi, dekat dengan suasana kesetimbangan, dengan sedikit  untuk CO2 di atmosfer. Hal ini sesuai dengan hasil sebelumnya yang diperoleh melalui metode tidak langsung dan didukung oleh serangkaian studi sensitivitas. Suatu analisis rinci tentang pCO2 dan tCO2 musiman distribusi di Laut Mediterania disediakan untuk pertama kalinya. Hal ini menunjukkan bahwa proses-proses biologi memainkan peran utama dalam membentuk evolusi pCO2 musiman di cekungan timur dan barat.

Pustaka

Fabrizio D’Ortenzioa, David Antoinea, Salvatore Marullob. 2008. Satellite-driven modeling of the upper ocean mixed layer and air–sea CO2 flux in the Mediterranean Sea[http://www.obs-vlfr.fr/LOV/OMT/fichiers_PDF/Dortenzio_et_al_DSR_08.pdf].







Satellite remote sensing for an ecosystem approach to fisheries management


E. Chassot, S. Bonhommeau, G.  Reygondeau, K. Nieto, JJ Polovina, M.
Huret, N. K. Dulvy, dan H. Demarcq
 
Resume

Satelit penginderaan jauh (SRS) dari lingkungan laut telah menjadi penting dalam ekologi untuk pemantauan lingkungan, penilaian dampak dan merupakan alat yang menjanjikan untuk masalah konservasi. Dalam konteks pendekatan ekosistem dengan manajemen perikanan (EAFM), global, harian, sistematis, gambar resolusi tinggi yang diperoleh dari satelit merupakan sumber data utama untuk penggabungan  habitat pertimbangan dalam dinamika populasi ikan laut. Tinjauan tentang SRS yang paling umum dataset tersedia bagi para ilmuwan perikanan dan pengolahan data-state-of-the-art-metode yang pertama kali disajikan, berfokus pada teknik yang baru-baru ini dikembangkan untuk mendeteksi fitur mesoscale, seperti pusaran, front, filamen, dan hulu sungai sangat penting dalam peningkatan produktivitas dan ikan terkait agregasi. Kedua, kami menyediakan kajian komprehensif dari aplikasi data penginderaan jauh di perikanan selama tiga dekade terakhir untuk menyelidiki hubungan antara oseanografi. Kondisi dan sumber daya kelautan. Ketiga, kami menekankan bagaimana sinoptik dan SRS kaya informasi data telah menjadi instrumental dalam analisis ekologi pada skala komunitas dan ekosistem. Akhirnya, kami menunjukkan bagaimana SRS data, dalam hubungannya dengan otomatis sistem data akuisisi in situ, menyediakan komunitas ilmiah dengan sumber informasi utama untuk pemodelan ekosistem, alat kunci untuk menerapkan pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan.

Pustaka

E. Chassot, S. Bonhommeau, G.  Reygondeau, K. Nieto, JJ Polovina, M. Huret, N. K. Dulvy, dan H. Demarcq. 2011. Satellite remote sensing for an ecosystem approach to fisheries management. ICES Journal of Marine Science; doi:10.1093/icesjms/fsq195[http://www.dulvy.com/publications/forthcoming/Chassot_2011_OE.pdf].


Seasonal and interannual variability in algal biomass and primary
production in the Mediterranean Sea, as derived from 4 years of
SeaWiFS observations
SBaca secara fonetik

E. Bosc, A. Bricaud, dan D. Antoine
Laboratoire d'Oce'anographie de Villefranche, CNRS dan Universite 'Pierre et Marie Curie, Villefranche-sur-Mer, Perancis


Resume

Karena Mediterania telah dikenakan selama beberapa dekade untuk meningkatkan pengaruh antropogenik, pemantauan biomassa alga dan produksi utama pada jangka panjang dasar diperlukan untuk mendeteksi modifikasi mungkin dalam keseimbangan biogeokimia cekungan. Karya ini dimulai berkat suatu kurun waktu 4 tahun pengamatan SeaWiFS. variasi musiman biomassa alga (diperkirakan dengan menggunakan algoritma regional yang sebelumnya dikembangkan) dan produksi primer dianalisis untuk berbagai daerah, dan dibandingkan dengan jumlah yang diestimasi dengan menggunakan sensor CZCS (1978-1986). Juga, variasi antartahunan dapat dinilai untuk pertama kalinya. Siklus musiman biomassa alga umumnya mengungkapkan maksimal di musim dingin atau musim semi, dan minimum di musim panas. Beberapa perbedaan mencolok dengan pengamatan CZCS (misalnya, di Cekungan Northwest, pengurangan zona konveksi dalam, sebelumnya awal musim semi mekar) kemungkinan akibat dari perubahan lingkungan. Variasi antartahunan biomassa alga yang terlihat, termasuk di perairan yang sangat oligotrophic dari Cekungan Timur. Evolusi musiman produksi primer dominan dipengaruhi oleh biomassa alga di Cekungan Barat (dengan, khususnya, musim semi maksimum). Di Cekungan Timur, musiman PAR dan biomassa cenderung kompensasi sama lain, dan produksi primer bervariasi lemah sepanjang tahun. Nilai tahunan  yang dihitung selama periode 1998-2001 untuk Basin Barat (163 ± 7 gC m-2  tahun -1) dan Basin Timur (121 ± 5 gC m-2 tahun-1) lebih rendah (dengan 17 dan 12%, masing-masing) dari yang sebelumnya berasal (menggunakan model cahaya fotosintesis yang sama) dari data CZCS.

Pustaka

E. Bosc, A. Bricaud, dan D. Antoine. 2004. Seasonal and interannual variability in algal biomass and primaryproduction in the Mediterranean Sea, as derived from 4 years of SeaWiFS observations. http://www.obsvlfr.fr/LOV/OMT/fichiers_PDF/Bosc_et_al_GBC_04.pdf.



Climate-Driven Basin-Scale Decadal Oscillations of Oceanic Phytoplankton

Elodie Martinez, * Antoine David, Fabrizio D'Ortenzio, Gentili Bernard

Resume

Fitoplankton-mikroalga yang mengisi lapisan atas dari jejaring makanan laut dan mempengaruhi tingkat karbon dioksida kelautan dan atmosfer melalui fotosintesis fiksasi karbon. Di sini, kita menunjukkan bahwa multidecadal perubahan dalam kelimpahan fitoplankton global terkait dengan osilasi skala cekungan fisik laut , khususnya decadal Pasifik Osilasi dan Osilasi Atlantik Multidecadal. Hubungan ini terungkap dalam ~ 20 tahun pengamatan satelit klorofil dan suhu permukaan laut. Interaksi  utama antara pycnocline dan laut lapisan atas campuran musiman adalah salah satu mekanisme di belakang korelasi ini.
Temuan kami menyediakan konteks untuk menafsirkan perubahan kontemporer di global fitoplankton dan harus meningkatkan prediksi evolusi masa depan mereka dengan perubahan iklim.
Tanggapan cekungan-spesifik fitoplankton untuk oscillator iklim skala besar telah menunjukkan di sini. Hasil ini berpendapat untuk representasi yang lebih akurat decadal ke model laut global, yang prediksi respon ekosistem terhadap perubahan global masih tidak menentu. Peningkatan tersebut sangat penting untuk lebih baik proyeksi dampak perubahan iklim terhadap ekosistem dan fluks karbon. Hasil ini juga menunjukkan bahwa meredam efek variabilitas antartahunan dengan rata-rata lebih dari dua dekade memungkinkan variabilitas decadal untuk diungkapkan dan dianalisis. Oleh karena itu, dapat diantisipasi bahwa rata-rata selama beberapa dekade pada akhirnya dapat mengungkapkan tren jangka panjang yang terkait dengan perubahan halus secara fisik. Ini menekankan pentingnya kritis reanalyzing data historis dan melanjutkan catatan pembangunan satelit iklim-kualitas data dalam dekade berikutnya.

Pustaka
Elodie MartinezAntoine David, Fabrizio D'Ortenzio, Gentili Bernard. 2009. Climate-Driven Basin-Scale Decadal Oscillations of Oceanic Phytoplankton





Simak
Baca secara fonetik

Kamus

Terjemahkan situs web mana pun

Lakukan banyak hal dengan Google Terjemahan


BALAI PEMBERDAYAAN PETANI DESA SEBAGAI SOLUSI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI DAN KEMANDIRIAN PANGAN BANGSA



PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA
JUDUL PROGRAM
BALAI PEMBERDAYAAN PETANI DESA SEBAGAI SOLUSI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI DAN KEMANDIRIAN PANGAN BANGSA
BIDANG KEGIATAN:
PKM - GAGASAN TERTULIS (PKM-GT)

Diusulkan Oleh:
Saifur Rohman                 C54080071 / 2008 (Ketua)
M. Budi Muliyawan         E34080109 / 2008 ( Anggota)
Dimas Ardi Prasetya        F44090042 / 2009 ( Anggota)

 
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011




RINGKASAN

Sebagai penggerak pertanian yang  mampu menghasilkan kebutuhan  pangan, penyedia bahan mentah untuk industri,  penyedia lapangan kerja, dan  penyumbang devisa negara. Sudah seharusnya, kita sebagai negara agraris lebih memprioritaskan kebijakan  kepada  pemberdayaan  petani kecil yang merupakan mayoritas dari petani Indonesia, mengingat juga paling rentannya petani kecil terhadap dampak negatif globalisasi di bidang lingkungan dan pangan. Karya tulis ini bertujuan menawarkan program pemberdayaan petani desa sebagai solusi atas peningkatan kesejahteraan petani desa dan kemandirian pangan bangsa. Pembinaan ini juga merupakan salah satu usaha membentuk karakter petani yang sukses, mandiri, dan tangguh dalam mengahadapi persaingan global yang menuntut terjadinya perdagangan bebas.
Kami telah menganalisis berbagai fenomena yang terjadi di kalangan petani desa. Banyak bentuk kekurangan dalam pemberdayan petani desa seperti kurangnya pelatihan, informasi,  kurangnya perhatian dari pihak lain seperti perbankan, perusahaan atau industri pertanian terhadap petani desa, dan kurangnya kesinergisan dari berbagai pihak dalam peningkatan pertanian terutama di desa. Sehingga mengakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam menghargai para petani. Hal ini tidak selaras dengan penyiapan kemajuan pertanian Indonesia.
Melihat kenyataan yang ada, pembinaan secara intensif menjadi kebutuhan penting untuk petani terutama petani kecil di era globalisasi sekarang ini. Pembinaan ini dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam bidang pertanian dan dengan jangka waktu yang berkelanjutan(Sustainable). Balai Pemberdayaan Petani Desa yang bertempat di setiap kecamatan, mengadakan program pembinaan petani desa yang dianggotai oleh ketua dari kelompok tani setiap desa dan akan bekerja sama langung dengan Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Pendidikan, dan Pemerintah Daerah terutama yang berada di Kecamatan. Program yang ditawarkan berupa penyuluhan, pelayanan, pemberdayaan, informasi, jaringan kerja(network), dan pembimbingan menuju petani desa yang maju dan sejahtera. Adanya pembinaan dan pemberdayaan petani desa ini, akan meminimalisir kemiskinan dan pengangguran serta mendorong terciptanya kemandirian pangan desa.
Dengan diterapkannya program-program dari Balai Pemberdayaan Petani Desa paling tidak dapat mengatasi tiga permasalahan bangsa, yaitu pertanian organik dapat menjadi alternatif untuk menangkal dampak negatif globalisasi, pengurangan pengangguran karena semakin banyak tenaga yang terserap dalam bidang pertanian, dan pencegahan urbanisasi karena semakin banyak petani yang sukses. Sehingga diharapkan dapat mewujudkan kesadaran dan kerja sama yang  menyeluruh dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun non-pemerintah dalam  pentingnya pembangunan pertanian desa sebagai tonggak kesejahteraan dan  kemandirian pangan bangsa.