Oleh: Dr. Ir. Henry Munandar Manik, S.Pi, MT
Gambar 1. ilustrasi pendeteksian ikan dengan Sonar (kiri) dan hasil pendeteksian berupa ping
pantulan gelombaang suara
(sumber: teacheratsea.wordpress.com & www.seagrant.unh.edu)
Sumber daya hayati
laut seperti ikan memiliki kandungan gizi yang sangat berguna bagi manusia.
Sumber daya hayati laut jika dikelola dengan baik akan mampu mendatangkan
devisa. Namun metode kuantifikasi stok sumberdaya ikan belum memenuhi syarat,
karena masih menggunakan pendekatan statistik perikanan. Pendekatan statistik
membutuhkan waktu yang lama, akurasi yang diragukan dan luas cakupan perairan
yang sempit. Dengan demikian teknologi senor diharapkan dapat memecahkan
permasalahan ini.
Deskripsi Lengkap
Teknologi Sonar
sudah dikenal pada masa perang dunia kedua dengan penerapan single frekuensi
echosounder (Mackenzie, 1961; Urick and Saling, 1962). Penggunaan teknik Sonar
untuk mengukur hamburbalik menggunakan frekuensi 24 kHz sampai 100 kHz
dilakukan oleh Urick, 1967. McKinney dan Anderson (1964) mengumpulkan data
hamburan dari kedalaman kurang dari 61 m di perairan pantai. Penerapan metode
Lambert dalam pengukuran hambur balik pada frekuensi 1 kHz sampai 200 kHz
dilakukan oleh Boehme dan Chotiros, 1988. Greenlaw et al (2004) melakukan
pengembangan terhadap range frekuensi untuk menguji panjang gelombang dengan
pendekatan ukuran butir sedimen. Hasil yang sama diperoleh oleh Williams et al
(1988). Nilai maksimum hamburan sangat dekat dengan frekuensi yang dilakukan
dengan pendekatan Faran’s model untuk elastic sphere (Faran, 1951; Crawford and
Hay, 1993).
Aplikasi teknik Sonar dalam mempelajari sumber daya ikan dalam air
telah dimulai oleh Sund (1935). Sejak saat itu studi tentang stok ikan dalam
kolom air terus berkembang sejalan dengan perkembangan kemajuan instrumentasi
dan teknik pengambilan contoh. Hasil-hasil penelitian di periode-periode awal
ini sifatnya kualitatif sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan pada analisis
selanjutnya.
Hasil-hasil studi
kuantitatif dengan menggunakan metode Sonar dimulai oleh, antara lain, Clay dan
Leong (1974), Clay dan Medwin (1977) dan MacLennan dan Simmonds (1992). Foote
(1987) misalnya menggunakan system linear sinyal pantul (echo) dengan peralatan
transduser berfrekuensi 38 kHz untuk menduga konsentrasi ikan di laboratorium.
Sementara itu, Chotiros (1995) menggunakan Biot’s theory dalam penelitiannya
tentang sonar pada volume sedimen. Stanton dan Clay mengukur echo statistic
dari dasar laut untuk klasifikasi sedimen. Sternlicht, D. D., dan de Moustier,
C. P. (2003a, 2003b) menggunakan dual frekuensi sonar untuk deteksi dasar laut
dan pembuatan echo envelope model. Stanton dan Chu (2004) mengukur echo dari
microrelief dasar laut untuk mengetahui karakter echo envelope.
Dalam studi tentang
deteksi dan kuantifikasi ikan dan dasar laut pada deep sea fisheries, Manik
(2006) berhasil menentukan hubungan yang kuat antara kepadatan ikan dengan
sinyal SONAR. Selanjutnya, nilai hambur balik dasar laut (bottom backscattering
strength) dapat menentukan jenis material dasar yang berguna untuk mempelajari
habitat ikan (Manik, 2006). Hasil tersebut kami gunakan sebagai dasar pijakan
rasional dalam penelitian ini.
Pada bagian sensor
pemancar terdapat beberapa komponen penting yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Bagian ini merupakan pengambil data analog berupa besaran fisik yang
di indra oleh sensor. Sensor yang akan digunakan adalah menggunakan underwater transducer.
Pada kondisi ini besaran yang diterima oleh sensor masih bersifat analog, yakni
berupa pulsa listrik (ping) dari hasil pengubahan vibrasi sensor sonar pada
bagian pengirim pulsa yang kemudian akan dikembalikan lagi oleh target dalam
bentuk pulsa yang membawa informasi sesuai dengan karakteristik target. Dalam
hal ini dilihat karakteristik refleksi dari ikan tuna dan dasar laut yang
berada pada luasan beam transducer. Pulsa-pulsa yang kembali akan diubah
menjadi pulsa-pulsa digital supaya bisa diolah oleh pengolah pulsa digital.
Proses pengubahan ini dilakukan oleh analog to digital converter (ADC). Data
ini disimpan sementara pada data logger sebelum dikirim ke sensor penerima.
Pada sensor pengirim
dilakukan pemrograman bahasa tingkat rendah (assembly) untuk mendayagunakan
mikrokontroller sebagai pusat kendali yang menghubungkan (interface) antara
sensor dengan rangkaian pengkode digital. Pada pemrograman ini akan dilakukan
komputasi bit logika dan pembuatan penyimpan data sementara dengan kapasitas
yang sesuai dengan RAM mikrokontroller yang digunakan.
Data yang dikirimkan
oleh transmitter kemudian akan diterima oleh receiver. Data yang diterima itu
kemudian akan diidentifikasi oleh mikrokontroller dimana data tersebut harus
mempresentasikan kondisi di lapangan, artinya dapat memberikan informasi target
yang diamati oleh sistem transmitter. Data yang diterima tersebut kemudian
dapat diolah oleh personal computer (PC) dengan merancang terlebih dahulu
interface atau antar muka antara PC dan sistem receiver.
Data yang dihasilkan
pada bagian ini adalah data yang bersifat real time yang memiliki identitas
dimana dan kapan data diperoleh sehingga akan menjadi database yang bisa terus
menerus ditampilkan. Sehingga pada sensor penerima perlu dibuat satu computer PC
sebagai file server untuk menampung data yang dikirimkan oleh transmitter.
No comments:
Post a Comment