Budidaya Rumput Laut
Dalam
pembangunan diwilayah pesisir, salah satu pengembangan kegiatan ekonomi yang
sedang digalakkan pemerintah adalah pengembangan budidaya rumput laut. Melalui
program ini diharapkan dapat merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi wilayah
akibat meningkatnya pendapatan masyarakat setempat.
Pengembangan
budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya
merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke arah budidaya
rumput laut yang ramah lingkungan dan usaha budidaya ini dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat digunakan untuk mempertahankan
kelestarian lingkungan perairan pantai (Ditjenkan Budidaya, 2004).
Pengembangan
budidaya rumput laut merupakan salah satu alternative pemberdayaan masyarakat
pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal : (1) produk yang dihasilkan
mempunyai kegunaan yang beragam, (2) tersedianya lahan untuk budidaya yang
cukup luas serta (3) mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan (Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2001).
Biologi Rumput Laut
Rumput laut
merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam divisio thallophyta.
Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus,
bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti
tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus
ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel
(multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (duadua
terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate
(berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana
tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak
seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous},
lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous)
dan sebagainya (Soegiarto et al, 1978).
Sejak tahun 1986
sampai sekarang jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Kepualauan
Seribu adalah jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis Eucheuma
cottonii ini juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii. Menurut
Dawes dalam Kadi dan Atmadja (1988) bahwa secara taksonomi rumput laut
jenis Eucheuma dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio Rhodophyta
Kelas Rhodophyceae
Ordo Gigartinales
Famili Solieriaceae
Genus Eucheuma
Spesies Eucheuma cottonii
Genus Eucheuma
merupakan istilah popular di bidang niaga untuk jenis rumput laut penghasil
karaginan. Nama istilah ini resmi bagi spesies Eucheuma yang ditentukan
berdasarkan kajian filogenetis dan tipe karaginan yang terkandung di dalamnya.
Jenis Eucheuma ini juga dikenal dengan Kappaphycus (Doty, 1987 dalam
Yusron, 2005).
Ciri-ciri Eucheuma
cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silindris
atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan
lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk
melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu
atau hijau kuning. Spina Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus
dan cabang-cabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau,
hijau kuning, abau-abu atau merah. Penampakan thallus
bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks (Ditjenkan Budidaya,
2004).
Kondisi Fisika,
Biologi dan Kimia Lingkungan
Keberhasilan
budidaya rumput laut dengan pemilihan lokasi yang tepat merupakan salah satu
faktor penentu. Gambaran tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk
budidaya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat
menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki. Lokasi
dan lahan budidaya untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma di
wilayah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi oseanografis yang
meliputi parameter lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan
(Puslitbangkan, 1991)
a. Kondisi Lingkungan Fisika
• Untuk
menghindari kerusakan fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh
angin topan dan ombak yang kuat, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari
hempasan ombak sehingga diperairan teluk atau terbuka tetap terlindung oleh
karang penghalang atau pulau di depannya untuk budidaya rumput laut (Puslitbangkan,
1991).
• Dasar perairan
yang paling baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah yang stabil
terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta
bebas dari lumpur,dengan gerakan air (arus) yang cukup 20-40 cm/detik
(Ditjenkan Budidaya, 2005).
• Kedalaman air
yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah antara 2-15 m pada
saat surut terendah untuk metode apung. Hal ini akan menghindari rumput laut
mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada waktu
surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara
langsung pada waktu air pasang (Ditjenkan Budidaya, 2005).
• Kenaikan
temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat
kekuning-kuningan yang menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik.
Oleh karena itu suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah
20-28°C dengan fluktuasi harian maksimum 4°C (Puslitbangkan, 1991)
• Tingkat
kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini
dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk kedalam air. Intensitas
sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama
dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi
tidak kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut
(Puslitbangkan, 1991).
b. Kondisi Lingkungan Kimia
• Rumput laut
tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang
masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Salinitas
yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara
sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 28- 35 ppt (Ditjenkan
Budidaya, 2005).
• Mengandung
cukup makanan berupa makro dan mikro nutrien. Menurut Joshimura dalam Wardoyo
(1978) bahwa kandungan fosfat sangat baik bila berada pada kisaran 0,10-0,20
mg/1 sedangkan nitrat dalam kondisi berkecukupan biasanya berada pada kisaran
antara 0,01-0,7 mg/1. Dengan demikian dapat dikatakan perairan tersebut mempunyai
tingkat kesuburan yang baik dan dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut.
c. Kondisi Lingkungan Biologi
• Sebaiknya
untuk perairan budidaya Eucheuma dipilih perairan yang secara alami
ditumbuhi oleh komonitas dari berbagai makro algae seperti Ulve, Caulerpa,
Padina, Hypnea dan lain-lain, dimana hal ini merupakan salah satu indikator
bahwa perairan tersebut cocok untuk budidaya Eucheuma. Kemudian
sebaiknya bebas dari hewan air lainnya yang besifat herbivora terutama ikan
baronang/lingkis (siganus. spp), penyu laut (Chelonia midos} dan
bulu babi yang dapat memakan tanaman budidaya (Puslitbangkan, 1991). Secara
umum di Indonesia, budidaya rumput laut dilakukan dalam tiga metode penanaman
berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan. Ketiga budidaya tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1) Metode Dasar (bottom
method)
Penanaman dengan
methode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada
karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar perairan. Metode dasar
merupakan metode pembudidayaan rumput laut dengan menggunakan bibit dengan
berat tertentu.
2) Metode Lepas
Dasar (off-bottom method)
Metode ini dapat
dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk
menancapkan patok/pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang
berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali
plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar
perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang
akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman
dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran yang berukuran 2,5x5 m2 dengan
lebar mata 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput laut
diikatkan pada simpul-simpulnya.
3) Metode Apung (floating
method)/ Longline
Metode ini cocok
untuk perairan dengan dasar perairan yang berkarang dan pergerakan airnya di
dominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakitrakit dari bambu sedang dengan
ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari ketersediaan material, tetapi
umumnya 2,5x5 m2 untuk memudahkan pemeliharaan. Pada dasarnya metode ini sama
dengan metode lepas dasar hanya posisi tanaman terapung dipermukaan mengikuti
gerakan pasang surut. Untuk mempertahankan agar rakit tidak hanyut digunakan
pemberat dari batu atau jangkar. Untuk menghemat area, beberapa rakit dapat
dijadikan menjadi satu dan tiap rakit diberi jarak 1 meter untuk memudahkan
dalam pemeliharaan. Bibit diikatkan pada tali plastik dan atau pada
masing-masing simpul jaring yang telah direntangkan pada rakit tersebut dengan
ukuran berkisar antara 100-150 gram.
Studi Analisis Pengembangan Budidaya Rumput Laut di
Kabupaten Kupang
Pemanfaatan
rumput laut sebagai bahan makanan kosmetika dan obatobatan tradisional sudah
lama dikenal oleh masyarakat. Sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan industri
yang memungkinkan untuk diekspor baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir
ini, sehingga merangsang pengembangan untuk budidaya rumput laut. Pengembangan
budidaya rumput laut di Kecamatan
Kupang Barat sangat perlu dilakukan mengingat besarnya potensi dan lahan yang
dimiliki adalah 149,72 km2 dengan perkiraan poduksi yang cukup besar (Anonim,
2003).
Kabupaten Kupang
merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas
wilayah adalah 5.898,18 km2 dan secara geografis terletak antara 09° 19'-10°
57' LS dan 121° 31'-124° ll' BT. Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak
dibagian barat Kabupaten Kupang dengan luas wilayah adalah 149,72 km2. Dengan
wilayah perairan yang luas dan strategis serta memiliki potensi sumberdaya
perairan yang cukup besar, maka perairan wilayah Kecamatan Kupang Barat perlu
dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan (Anonim, 2003). Pengembangan
budidaya rumput laut telah dilaksanakan sejak tahun 1968 oleh Lembaga
Penelitian Laut bekerjasama dengan Dinas Hidrografi Angkatan laut di Pulau Pari
Kepulauan Seribu melalui uji coba budidaya E. spinosum dan E.
edule yang bibitnya berasal dari perairan setempat. Kemudian dikembangkan
juga E. cottonii yang bibitnya berasal dari Bali yang hasilnya telah memasyarakat
sampai saat ini (Sulistijo, 1996).
Pertumbuhan dan Karaginan Rumput Laut
Pertumbuhan
adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang
dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thalus dan umur. Sedangkan faktor
eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan.
Namun demikian selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang sangat
menentukan keberhasilan pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang
dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan yang harus diperhatikan seperti
substrat perairan dan juga jarak tanam bibit dalam satu rakit apung (Syaputra,
2005).
Pertumbuhan juga
merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Ukuran bibit rumput
laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan bibit thallus
yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih
tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Menurut
Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan rumput laut yang dianggap
cukup menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per hari. Rumput laut
merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar
dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan
dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga
hasil yang diperoleh (Syaputra, 2005).
Soegiarto et
al, (1978), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara
2-3% per hari. Pada percobaan penanaman dengan menggunakan rak terapung pada
tiga lapisan kedalaman tampak bahwa yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm)
tumbuh lebih baik dari lapisan kedalaman dibawahnya karena cahaya matahari
merupakan faktor penting untuk pertumbuhan rumput laut. Pada kedalaman tidak
terjangkau cahaya matahari, maka rumput laut tidak dapat tumbuh. Demikian pula
iklim, letak geografis dan faktor oceanografi sangat menentukan pertumbuhan
rumput laut. Pertumbuhan rumput laut dikategorikan dalam pertumbuhan somatik
dan pertumbuhan fisiologis. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur
berdasarkan pertambahan berat, panjang thallus sedangkan pertumbuhan fisiologis
dilihat berdasarkan reproduksi dan kandungan koloidnya. Karaginan merupakan
getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies
tertentu pada kelas Rhodophycae (alga merah). Spesies Eucheuma cotonii merupakan
penghasil kappa karaginan sedangkan spesies Eucheuma spinosum merupakan
penghasil iota karaginan. Karaginan juga merupakan polisakarida yang berasal
dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota
karaginan dan cappa karaginan dimana kandungannnya sangat bervariasi
tergantung musim, spesies dan habitat. Dalam karaginan terdapat garam sodium,
potasiun dan kalsium. Karaginan potasiun yang terdiri dari alfa karaginan dan
B-karaginan sifatnya dapat larut dalam air panas, sedangkan karaginan sodium
dapat larut dalam air dingin (Percivel, 1968 dalam Iksan, 2005). Istilah
karaginan mencakup sekelompok polisakarida linear sulfat dari Dgalaktosa dan
3,6-anhidro-D-galktosa yang diekstraksi dari jenis-jenis alga merah (Glicksman,
1983 dalam Iksan, 2005). Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang
terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat dengan galaktosa
dan 3,6 anhydrogalaktocopolimer. Karaginan dapat diperoleh dari hasil pengendapan
dengan alkohol, pengeringan dengan alat (drum drying) dan pembekuan.
Jenis alkohol yang dapat digunakan untuk pemurnian yaitu metanol, ethanol dan
isopropanol.
Model-Model Kajian Dalam Pengembangan Budidaya
Rumput Laut
1. Model Sistem
Informasi Geografis
Model Sistem
Informasi Geografis (SIG) sebagai alat yang digunakan untuk pengumpulan,
penyimpanan, mendapatkan informasi dan menampilkan suatu data untuk tujuan
tertentu. Data yang dimaksud meliputi data spasial atau ruang maupun data
atribut. Pada prinsipnya sistem informasi geografis mempunyai beberapa langkah
yang berurutan dan berkaitan erat mulai dari perencanaan,
penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik, penggabungan peta,
mengedit hingga pemetaan secara otomatis (Burough, 1986 dalam Fatmawati,
1998).
Teknologi SIG
menjadi pilihan untuk menjawab permasalahan mengingat kemampuan yang
dimilikinya yaitu dapat menampung, menyimpan, mengolah dan memanipulasi data
spasial sehingga menghasilkan output sesuai dengan tujuan. Analisis keruangan (spatial
analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan dengan mudah dan cepat
serta tepat dengan menggunakan SIG dalam menentukan suatu kawasan.
2. Model
Konvensional
Model ini
merupakan suatu alat yang digunakan untuk pengumpulan dan mendapatkan informasi
suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data yang bersifat
kovensional dalam merencanakan peneltian. Dalam menganalisis suatu kawasan
untuk usaha sangat mudah dan cepat karna berdasarkan data survei namun tidak
menggunakan data atribut untuk pemetaan
suatu kawasan.
Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi
geografis sangat bermanfaat untuk penanganan data spasial daerah terutama untuk
penyimpanan, editing, penampilan, perubahan dan pemodelan. Fungsi dari
penyimpanan, editing, penampilan ini merupakan pengolahan data bagi presentasi
dan penyajian data sedangkan kegunaan untuk mengetahui perubahan sangat
bermanfaat untuk kegaitan monitoring, terutama variabel yang cepat berubah.
Pemodelan sangat penting untuk menghasilkan informasi baru untuk perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan usaha
untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam semaksimal mungkin untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah tanpa meninggalkan
aspek konservasi (Hartono,1995).
Menurut Burough,
(1986) dalam Fatmawati, (1998) bahwa system informasi geografis dapat
digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali informasi dan
menampilkan suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data
spasial atau ruang maupun data atribut. Pada prinsipnya sistem informasi
geografis mempunyai beberapa langkah yang berurutan dan berkaitan erat mulai
dari perencanaan, penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik,
penggabungan peta, mengedit hingga pemetaan secara otomatisasi.
Perolehan informasi
untuk pengelolaan lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan sangat
diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemrosesan, penelusuran dan
analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunaannya pada waktu
yang diinginkan, pengelolaan informasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan
SIG baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer (Dahuri et al, 2004).
Daya Dukung
Lingkungan
Dewasa ini
pemakaian daya dukung lingkungan dalam perencanaan suatu design budidaya
laut terus berkembang. Melihat perkembangan sektor budidaya laut saat ini dan
yang akan datang maka dalam mengembangkan suatu kawasan perairan sebagai lahan
untuk budidaya perlu membuat model-model estimasi yang disesuaikan dengan
kondisi wilayah. Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa
perairan pesisir memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme.
Konsep daya dukung yang digunkan dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah
konsep daya dukung ekologis. Daya dukung ekologis yaitu tingkat maksimum (baik
jumlah maupun volume) pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem yang
dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau wilayah sebelum terjadi penurunan
kualitas ekologis.
Menurut Turner,
(1988) dalam Rustam, (2005) bahwa daya dukung lingkungan adalah jumlah
populasi organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau
volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan
tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk
banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh
suatu habitat. Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang
diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan
makanan, ruang, siklus predator, temperatur, cahaya matahari atau salinitas
(Rachmansyah, 2004).
Konsep daya
dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya
perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan
lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan
atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka
nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam
jangka waktu yang lama.
Estimasi daya
dukung lingkungan perairan untuk menunjang kegiatan budidaya ikan laut di
keramba jaring apung (KJA) merupakan ukuran kuantitatif yang akan
memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang
telah ditentukan tanpa menimbulkan degredasi lingkungan dan ekosistem
sekitarnya (Piper et al, 1982 dalam Ali, 2003). Dalam hal
menentukan daya dukung lingkungan untuk kawasan budidaya rumput laut sebagai
bagian dari kegiatan
budidaya laut maka estimasi ini akan menunjukkan berapa unit rakit yang boleh
ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan.
Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan
Pembangunan
berkelanjuatan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa
menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(WCED,1987 dalam Dahuri et al, 2004) Konsep dasar pembangunan
berkelanjutan pertama kali dikemukan oleh "the club of Rome" pada
tahun 1972, diantaranya mengandung pesan penting bahwa sumberdaya
alam telah berada pada tingkat ketersediaan yang memprihatinkan dalam menopang
keberlanjutan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Pesan tersebut pada diskusi "Limits
to Growth" diawal tahun 1979-an berkembang membahas akibat
perkembangan ekonomi yang tidak dapat dikendalikan terhadap penurunan kualitas
lingkungan dan kehancuran sistem sosial secara
global yang diakhiri dengan dikelurkannya resolusi bahwa pembangunan ekonomi
harus berkelanjutan (Dahuri et al, 2004). Pengembangan budidaya
perikanan merupakan sistem usaha budidaya perikanan yang mampu menghasilkan
produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan dan berkelanjutan.
Untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan laut dan
payau seyogyanya berdasarkan pada : i) potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis
budidaya, ii) kemampuan masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan
teknologi budidaya, iii) pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara
terpadu dan iv) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan
menjadi leading sector (Dahuri, 2003).
Dalam kaitan
dengan pengelolaan wilayah pesisir, pembangunan berkelanjutan yang memberikan
semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya
alam yang ada didalamnya Konsep pembangunan berkelanjutan antara lain memiliki
dimensi ekologis, dimensi ekonomi, dimensi sosial-ekonomi, dimensi
sosial-politik serta dimensi hukum dan kelembagaan. Konsep pembangunan
berkelanjutan dari dimensi ekologis menjelaskan bagaimana mengelola semua
kegiatan pembangunan yang ada disuatu wilayah yang berhubungan dengan pesisir
agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya bagi kehidupan
manusia yang meliputi: jasa-jasa pendukung kehidupan; jasa-jasa kenyamanan;
penyedia sumberdaya alam dan penerima limbah (Dahuri et al, 2004).
Untuk mengelola
wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas
wilayah dpertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan yang di dalamnya termasuk
faktor hidrologi, ekologis maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan
karena aliran air yang berasal dari daratan yang akan mempengaruhi kawasan
perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir
tidak mengganggu siklus hidup hewan perairan, sedangkan batas administratif
diperlukan batas pengelolaan wilayah atau kawasan tertentu.
Menurut Dahuri et
al, (2004) bahwa hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang
baku, namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis
pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yaitu
batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis
pantai (cross shore). Selanjutnya bahwa untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah
pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan
pamanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah
pesisir secara berkelanjutan. Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten
di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah adalah 5.898,18 km2 dan
secara geografis terletak antara 09° 19'-10° 57' LS dan 121° 31'-124° ll' BT.
Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak dibagian barat Kabupaten Kupang dengan
luas wilayah adalah 149,72 km2. Dengan wilayah perairan yang luas dan strategis
serta memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar, maka peraiaran wilayah Kecamatan
Kupang Barat perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan
(Anonim, 2003). Pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat merupakan
salah satu konsep pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah dalam upaya
untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekitar pesisir.
Sumber: www.damandiri.or.id/file/
No comments:
Post a Comment