PERANAN IMTAQ DAN IPTEK DALAM
MEMBANGUN PERADABAN INDONESIA MADANI
|
|
Pekanbaru, 15 Januari 2011
|
|
Disampaikan pada acara Kajian
membaca Ayat-ayat Kauniyah,
Mejelis Pengurus Wilayah ICMI Orwil Riau Bismillaahirrrahmaanirrahiim Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh "Innallaha la yughayyiru maa biqawmin, hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim”, ”Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum,sampai kaum itu merubahnya sendiri” (Qs.Ar-Ra’du:11)
Segala puja dan puji bagi Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala rahasia
kehidupan, Yang Maha Mengatur lakon kehidupan yang dipentaskan oleh
hamba-hamba-Nya di Bumi yang dihamparkan-Nya, Yang Maha Mencerahkan kalbu
manusia, sehingga mereka menjadi khalifah dan hamba-Nya yang saleh,
Yang Memutar roda perputaran bumi dan zaman, kebangkitan dan kehancuran
bangsa, serta mengantarkan kecemerlangan peradaban manusia atau
menghancurkannya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah untuk
Baginda Rasulullah SAW, yang melalui ajarannya muncul manusia-manusia langka
pilihan yang menjadi aktor pembangunan umat manusia.
1. PENDAHULUAN: KETERPADUAN AYAT KAULIYAH DAN KAUNIYAH
Para ilmuwan Muslim memimpikan
pupusnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris.
Sebab, tradisi Eropa yang telah memisahkan sains dari agama—yang sebelumnya
padu di tangan saintis Muslim di Abad Pertengahan—adalah alasan utama untuk
itu.
Setelah empirisme yang dimulai
oleh Roger Bacon dan Robert Grosseteste dari Oxford menjadi ikon kuat di
Eropa pada awal abad ke-12 kemudian menjadi lebih populer di tangan Francis
Bacon melalui karyanya yang terkenal Novum Organum dan New Atlantis—yang
tidak lain diilhami tradisi ilmiah Islam—, maka genderang revolusi ilmiah dan
spesialisasi ilmu menjadi trend ilmiah. Setelah itu yang terjadi adalah
pemisahan antara ilmu-ilmu alam—yang berbasis metode eksperimental—dengan
filsafat alam, yang berbasis metode rasional-spekulatif. Dinding-dinding
antar disiplin ilmu pun makin tinggi dibangun, yang baru kemudian runtuh di
abad moderen ini, dengan berfusinya beberapa disiplin ilmu untuk membentuk
disiplin baru. Bersama pengalaman pahit inkuisisi agamawan Eropa atas
ilmuwan di abad tengah, maka ketegangan dan keterpisahan ilmu dan agama
semakin jauh.
Dua medan pertentangan ilmu-agama yang layak dicatat adalah masalah penciptaan dalam evolusi Darwin dan dalam kosmologi—khususnya teori Steady State Universe (Keith Wilks, 1982). Dengan evolusi biologisnya Darwin secara tidak langsung menolak penciptaan manusia sempurna melalui Adam dan Hawa. Sementara teori “jagad raya ajeg”—yang dipelopori Bondi, Gold dan Hoyle—berhipotesis bahwa ruang sebesar Stadion Utama Senayan di alam semesta mampu menciptakan satu inti atom hidrogen setiap 100 tahun. Alam kekal, karena ruang berkemampuan menciptakan materi dan galaksi, bukan sebab-sebab metafisis lainnya (Baca: Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT). Bahkan fisika secara umum, bergerak hanya pada penjelasan-penjelasan material dan menolak penjelasan metafisis, yang dikokohkan dengan hukum “kekekalan materi”.
Artinya, secara substansial antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris memang berbeda, dan sulit disatukan.
Secara ontologis obyek kajian ilmu-ilmu agama adalah risalah kenabian (ayat
kauliyah), sedang ilmu-ilmu empiris adalah manusia dan alam (ayat
kauniyah). Secara epistemologis, basis ilmu-ilmu agama adalah metode
tekstual, sementara untuk ilmu eksakta adalah metode
rasional-eksperimental. Hanya keyakinan bahwa sumber ilmu itu satu—baik
ayat kauliyah maupun ayat kauniyah—yang datangnya dari Allah SWT dan mesti
berujung pada pencerahan dan pengamalan sebagai bukti prilaku hamba yang
saleh (baca: ibadah), maka ilmu agama dan ilmu empiris mesti dipandang
sebagai suatu yang padu, tanpa pertentangan dan dikotomi.
Persoalan ini sebenarnya cukup
klasik. Teori “kebenaran ganda”, yang digaungkan Siger Brabant—tokoh
Averoisme latin—yang dianggap berasal dari Ibnu Rusyd, menyatakan bahwa
kesimpulan-kesimpulan akal budi murni dapat berbenturan dengan kebenaran
wahyu (W. Montgomery Watt,1995). Namun menurutnya, kedua kebenaran itu
harus diterima. Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah atau Al Qardhawi
dalam Al Qur’an dan As-sunnah Referensi Tertinggi Ummat Islam secara tegas
menolak teori kebenaran ganda semacam itu. Kebenaran wahyu yang
datangnya dari Allah SWT adalah kebenaran mutlak dan tertinggi, yang
mengatasi kebenaran kognitif yang relatif.
Dengan latar belakang ini, dapat
difahami harapan agar ilmuwan Muslim dapat menguasai dan menjelaskan ilmu
yang mereka kuasai dalam perspektif Islam, sehingga tidak terjadi split
personality.
Kajian membaca ayat-ayat Kauniyah, Mejelis Pengurus Wilayah ICMI Orwil Riau, memiliki spirit yang serupa. Saya menangkap kesan, bahwa forum ini akan berusaha membaca ulang ilmu-ilmu empiris (ayat-ayat kauniyah) dalam sinar keimanan, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam pemahaman kaum Muslimin atas hakekat ilmu, bahkan yang terjadi adalah sinergi dan daya dorong positif agama atas ilmu di satu sisi (bayan), dan penjelasan empiris ilmu atas pernyataan wahyu di sisi lain (burhan). 2. PERADABAN INDONESIA MADANI 2.1 Konteks Indonesia
Masyarakat Madani secara teoritis didefinisikan sebagai masyarakat
berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma,
hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap
terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
Secara operasional dalam konteks Indonesia, pengertian genuin di atas perlu dipadukan dengan fakta kondisional masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI. Pluralitas etnik dan ideologis masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke—yang melebihi panjang dari pantai barat sampai pantai timur Benua Amerika—adalah sebuah realita kebhinekaan yang nyata dan obyektif. Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa, sebagai benua maritim, paru-paru dunia, dengan biodiversitas yang berlimpah, sumber daya alam di darat maupun di laut, secara geografis dan demografis memperlihatkan fakta empiris kekayaan alam di samping pluralitas kekayaan budaya.
Karenanya masyarakat madani yang
kita citakan secara visional adalah sebangun dengan “Indonesia Baru” yang
kita inginkan sebagai sebuah kondisi ideal normatif yang menjadi harapan
masyarakat, bangsa dan negara. Arah pembangunan Indonesia yang kita citakan
adalah terbentuknya masyarakat yang menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai
landasan tata kehidupan mereka. Di dalamnya terisi dengan individu-individu
yang bebas dari sikap menzalimi diri sendiri. Berkumpul dalam keluarga yang
egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai
kebaikan dan keimanan. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat
dalam relasi yang proporsional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan
“amanah” penciptaan manusia. Hak-hak masyarakat terdistribusi secara
proporsional hingga terbangun kesederajatan sosial dan kehidupan yang
tenteram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat madani. Manusia Indonesia
hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam koridor hukum
dan agama, dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh. Di sana
tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur dan
mekanisme yudisial yang berkeadilan. Mereka berusaha dalam sistem ekonomi
egaliter, sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang memungkinkan
perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada seluruh rakyat
sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang yang memicu jurang
kesenjangan. Dimana pemanfaatan dan pengendalian ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) secara etis sebagai modal dasar pembangunan peradaban untuk
kesejahteraan manusia Indonesia dan kemandirian bangsa. Warna-warni kehidupan
mencerminkan pluralitas kebudayaan sebagai entitas yang berinteraksi secara
harmonis menuju kemajuan peradaban. Individu dan masyarakat mendapat
pendidikan yang integratif untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan
“amanah” penciptaannya menuju kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa.
Itulah masyarakat yang relijius,
yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong dalam
mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat yang
adil dan makmur, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu
masyarakat dan bangsa yang hidup berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa
lain di dunia, masyarakat dengan budaya takwa. Indonesia yang kita citakan
adalah kondisi masyarakat yang hidup penuh dengan kasih-sayang, yang muda
menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, laki-laki bahu membahu
dengan perempuan, dalam pluralitas kebudayaan. Sebuah taman sari
kehidupan kolektif kita, yang bermuara pada terjaminnya manusia dalam
memenuhi 5 (lima) kebutuhan primer hidupnya (maqosid syariah), yakni
perlindungan atas: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Masyarakat
adil, makmur, sejahtera dan bermartabat.
2.2 Strategi Transformasi
Strategi transformasi bangsa bagi
terwujudnya peradaban madani yang dicitakan di atas perlu dilakukan dalam
kombinasi dua aras antara perubahan yang bersifat bottom-up dengan top-down:
yakni melalui pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Pendekatan
kultural dilakukan oleh individu maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan,
yayasan/ormas dan berbagai lembaga/organisasi lainnya, melaksanakan
pelayanan, penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up melalui
pembangunan di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan hidup, kependudukan, kewanitaan, pengentasan kemiskinan, dan lain
sebagainya. Pendekatan struktural dilakukan oleh negara secara
komprehensif dalam lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan sektor-sektor
lain melalui mekanisme konstitusional dengan cara membangun sistem,
merumuskan kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural
dan top-down digunakan sebagai pedoman dalam rangka transformasi masyarakat
menuju peradaban madani. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi
dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Kalau pendekatan
kultural adalah “politik garam” (perlahan, bertahap dan tak terlihat namun
terasa asin), maka pendekatan struktural adalah “politik cabai” (eksplisit,
legal, imperatif dan tegas).
Dalam era partisipatif dan
demokratis sekarang ini tidak relevan lagi mendikotomikan kedua pendekatan di
atas. Pendekatan kultural dan pendekatan struktural sama-sama penting
dan wajib dilakukan. Kombinasi dan sinergi kedua pendekatan ini akan
mempercepat laju transformasi bangsa menuju peradaban masyarakat madani yang
kita citakan.
Mencermati strategi transformasi
bangsa di atas, maka ada urgensi, kestrategisan dan pentingnya peran Imtaq
dan Iptek dalam membangun peradaban Indonesia Madani.
3. PERANAN IMTAQ DAN IPTEK 3.1 Peran Imtaq
Dimana peran Imtaq dalam
pembangunan peradaban Indonesia Madani? Maka jawabnya sangat jelas pada
“jantung” peradaban itu sendiri. Alasannya sederhana, karena
Indonesia Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan
pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan;
menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong
menjaga kedaulatan negara. Kalau kita karakterisasi lebih lanjut, maka
pertama, unsur manusia menjadi obyek dan subyek. Kedua, ruh dari
peradaban madani adalah relijiusitas-keimanan. Ketiga, tujuannya adalah
kesejahteraan, keadilan, martabat dll. adalah nilai-nilai luhur yang
merupakan diferensiasi dari nilai keimanan. Dengan demikian domain
peradaban madani ekuivalen dengan domain Imtaq sendiri, karenanya peran Imtaq
menjadi urgen, strategis dan dominan dalam pembangunan peradaban Indonesia
Madani.
Pertama, karena membangun
peradaban madani ini bertumpu pada manusia sebagai obyek sekaligus subyek
(aktor), maka pembangunan manusia ini perlu dijalankan secara terpadu antara
sisi brain (aqliyah), mind (qolbiyah), dan body (jasadiyah). Pada titik
inilah pentingan Imtaq-spiritualitas-relijiusitas. Membangun kecerdasan
manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan kemajuan budaya menuju peradaban
madani atau dalam bahasa yang lebih operasional, menghapus kebodohan,
kekerasan sosial, dan keterbelakangan budaya”, sebab kita memandang kebodohan
(rendahnya kualitas pendidikan), kekerasan (hilangnya kesantunan dan kedamaian
dalam menyelesaikan segala bentuk konflik), serta keterbelakangan (kemandegan
dan kejumudan) sebagai musuh sosial bangsa memerlukan kecerdasan bukan hanya
dari sisi intelektual/rasional (IQ), namun juga mencakup sisi emosional (EQ)
dan spiritual (SQ), agar sempurnalah sosok manusia Indonesia yang kita
citakan (insan kamil). Sisi emosional dan spiritual perlu mendapat
perhatian yang memadai dalam proses pembangunan manusia Indonesia ke depan.
Manusia yang cerdas paripurna itu akan lebih mampu menanggung beban dan
menghadapi segenap cobaan hidup (adeversity quotient/AQ) dalam menggerakkan
roda dan sebagai subyek pembangunan bangsa.
Manusia yang seimbang antara sisi
intelektual, emosional dan spiritual itu sangat menyadari posisi dirinya dan
tujuan yang akan dicapainya. Mereka tidak akan mudah mengalami krisis
identitas sebagaimana terlihat pada sebagian warga di sekelilingnya, sehingga
mereka dapat berperan sebagai unsur pengubah lingkungan dan pengarah
masyarakat untuk menuju masyarakat madani. Mereka juga menyadari betul agenda
reformasi yang harus diperjuangkan, dan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan
yang telah diproklamsikan sejak lama. Mereka tak mudah goyah dan larut dalam
perubahan zaman, bahkan menjadi pilar penjaga nilai-nilai perjuangan dan membuat
arus baru yang akan menyelamatkan masyarakat dari kebobrokan dan kehancuran
sosial.
Kedua, ruh dari peradaban madani
adalah keimanan. Manusia yang cerdas tidak hanya memikirkan kepentingan
dan keselamatan dirinya sendiri, tetapi memikirkan kepentingan dan
keselamatan masyarakat umum. Mereka melawan egoisme dan individualisme, lalu
bersungguh-sungguh menumbuhkan semangat kolektif dan solidaritas sosial tanpa
pamrih. Bagi insan kamil sebagai subyek masyarakat madani, kesalehan bukan
hanya semata bermakna ketaatan menjalankan ritual agama dan ketentuan hukum,
melainkan juga mengobarkan spirit agama yang membebaskan dan substansi hukum
yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Kesalehan (ascetism) berpangkal dari
iman (faith) dan taqwa (pious), yang akhirnya melahirkan tindakan nyata yang
bermanfaat bagi orang banyak. Karenanya menjadi jelas bila
Imtaq-spiritualitas-relijiusitas menjadi strategis dalam pembangunan
peradaban Indonesia madani.
Aktor pembangunan masyarakat
madani ialah mereka yang paling besar kontribusinya kepada masyarakat dan
mengimplementasikan ketaatannya kepada Sang Khalik dengan berbuat kebajikan
serta melayani semua makhluk. Kesalehan pribadi yang berakumulasi menjadi
kesalehan publik akan membentuk lingkungan yang positif untuk berkembangnya
seluruh potensi kemanusiaan (humanity) dan kewargaan (citizenry), melalui
cermin peningkatan etos kerja, sikap terbuka akan kreasi dan inovasi baru,
serta menguatnya solidaritas sosial.
Ketiga, tujuan akhir dari
peradaban Indonesia madani adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. yang
merupakan nilai-nilai luhur diferensiasi dari nilai keimanan. Manusia madani
berperan untuk menanggulangi krisis identitas dan modalitas bangsa; mengubah
kondisi keterbelakangan menjadi kemajuan budaya. Kemajuan personal tidak
hanya bersifat fisik, namun mengembangkan nilai-nilai universal kemanusiaan,
sehingga tiap warga menyadari fungsi dan peran hidupnya sebagai seorang
hamba, pemimpin, dan pembangun peradaban baru berbasis nilai-nilai keimanan.
Kemajuan kolektif juga tak hanya bersifat fisik dan material, melainkan
tumbuh suburnya nilai dan pranata keimanan, serta semakin menipisnya nilai
dan pranata keburukan dan kemungkaran. Kemajuan budaya bagi suatu bangsa
berarti bangsa ini menyadari kembali jati dirinya yang telah lama tererosi.
Jati diri itu antara lain sebagai
bangsa pejuang yang membenci segala bentuk penindasan, bangsa yang mandiri
dan menolak segala format ketergantungan, serta bangsa yang terbuka terhadap
perubahan dan menolak eksklusifisme atau fanatisme sempit. Bangsa yang maju
tak selalu berarti meninggalkan nilai-nilai relijius, tradisional dan lokal,
sepanjang itu masih mencerminkan substansi kebaikan dan kebenaran
universal. Namun, bangsa yang mau adalah bangsa, yang mampu memadukan
nilai-nilai modern yang lebih baik dengan warisan tradisional yang sesuai
tuntutan zaman, yang berbasis keimanan.
Dengan demikian peran Imtaq
menjadi urgen, strategis dan dominan dalam seluruh bangunan peradaban
Indonesia Madani. Imtaq menjadi ruh dan spirit peradaban Indonesia
madani, yang menyiadakan basis epos, etos dan elan vital dinamika
transformasi bangsa menuju keunggulan.
3.2 Peran Iptek
Sekarang, dimana peran Iptek dalam
pembangunan peradaban Indonesia Madani? Perlukah sebuah rekonstruksi
Iptek seperti di masa keemasan Islam?
Mungkin sulit kita mengulang
prestasi itu. George Sarton dalam Introduction: History of Science
mewakili setiap setengah abad dengan satu tokoh ilmuwan. Setelah abad
Yunani dan China, maka berturut-turut sejak tahun 750-1100 M disebut oleh
Sarton sebagai abad Jabir al Hayyan, Al Khawarizmi, Al Razi, Masudi, Ibnu
Wafa, Ibnu Sina, Al Biruni, Ibnu al Haytsam, dan Umar Khayam. Baru
sejak tahun 1100 M muncul nama-nama Eropa seperti Roger Bacon dan Gerard de
Cremona. Sampai 250 tahun setelah itu, pemikiran sains masih didominasi
oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Ibnu Rusyd, Nasiruddin Al Tusi, dan Ibnu
Navis.
Menurut Abdus Salam untuk maju di
bidang Iptek, maka diperlukan komitmen, kemandirian, orgaware yang kuat, dan
manajemen yang tangguh. Ketika Al Ma’mun (785-833M) berkuasa, komitmen
itu terlihat, karenanya harus diakui gerakan keilmuan Islam menampakkan
fajarnya. Al Kindi adalah tokoh rasional masa itu yang mengembangkan
filsafat (falasifah) dan salah satu tokoh gerakan penerjemahan sistematik.
Al Ma’mun mensponsori gerakan intelektual ini dan menghimpun para ilmuwan di
istananya serta membangun perpustakaan besar Bayt Al Hikmah. Dan
merupakan tokoh yang paling berpengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan umat
di Abad Pertengahan. Minat Al Ma’mun terhadap Astronomi, matematika dan
kedokteran dapat dengan mudah difahami, karena disiplin-disiplin ilmu ini
menyatu dalam kehidupan harian umat. Ia pun menerjemahkan banyak karya
filsafat Plotinus dan mazhab Alexandria lainnya. Pengembangan Iptek
Islam terus berlanjut. Bahkan pada masa kesultanan Buwaih—tiga abad
setelah Al Ma’mun—ilmu pengetahuan umat mencapai puncaknya. Filosof dan
ilmuwan Islam besar eksis pada masa ini seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al
Biruni dlsb.
Namun, kondisi umat kini sudah
berubah. Abdus Salam, peraih Nobel Bidang Fisika tahun 1979
bersama-sama Sheldon L. Glashow dan Steven Weinberg mengembangkan risetnya di
Cambridge University, London University dan ICTP (International Center for
Theorytical Physics) di Itali bukan di Pakistan. Al Azhar yang berumur
ratusan tahun masih harus kita tunggu prestasi keilmuan kauniyahnya.
Karenanya secara normatif dan
bahkan terbukti oleh sejarah, bahwa pembangunan peradaban material sangat
bertumpu pada pembangunan Iptek. Iptek adalah engine for
tommorow. Agar pembangunan Iptek memiliki dampak nyata bagi pembangunan
peradaban, maka ia harus bersinergi dan terintegrasi serta membentuk Sistem
Inovasi Nasional. Paling tidak ada 3 alasan yang menghajatkan orientasi
pembangunan Iptek menuju Sistem Inovasi Nasional.
Pertama Iptek adalah hasil olah
akal-budi yang mengelola ide menjadi penemuan (invention). Penemuan ini
akan menemui maknanya yang utuh dalam praksis (praxis) ketika menghasilkan
nilai tambah (value added) secara ekonomi-sosial-hankam. Proses value
creation inilah yang kita sebut sebagai inovasi (innovation). Dengan
demikian, Iptek akan bermanfaat dalam praksis kehidupan ketika ia telah
tumbuh menjadi inovasi.
Kedua, Iptek adalah hasil olah
akal-budi yang mengelola ide melalui suatu proses pembelajaran (learning)
yang terus-menerus melintasi ruang-waktu generasi. Ide dapat merambat
(menginspirasi), berkembang, dan saling menguatkan. Karenanya iklim
yang kondusif bagi penumbuhsuburan ide adalah ruang yang memungkinkan bagi
interaksi, sinergi, share dari ide-ide. Jaringan (network) yang
membentuk sistem untuk mengelola ide menjadi inovasi adalah sebuah
keniscayaan. Dengan demikian, pembangunan inovasi menuntut pendekatan
sistem.
Selain itu, Iptek bukanlah
sebuah sektor, seperti pertanian atau industri, tetapi serupa dengan
Lingkungan Hidup, Iptek adalah bidang pembangunan yang melekat pada setiap
sektor, merupakan factor sukses dari sektor-sektor tersebut. Pembangunan
Iptek secara sendirian dan mandiri akan menjadi "menara gading" dan
sebuah enclave. Namun tanpa Iptek, sektor-sektor lain tidak akan mampu
meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka. Secara lugas kita dapat
menempatkan Iptek sebagai engine of growth dan power for
competitiveness. Karenanya pembangunan Iptek dan penguatan Sistem
Inovasi Nasional menuntut koordinasi dan sinergi.
Ketiga, Reformasi adalah proses
yang mengokohkan demokratisasi yang berujung pada peningkatan kesadaran
publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran ini
menghasilkan peningkatan aspirasi dan kontribusi (peran) masyarakat dalam
pembangunan nasional. Karenanya pendekatan para pihak (multi stake
holders) dalam mengelola pembangunan menjadi prasyarat yang makin
menonjol. Dengan demikian pembangunan Iptek akan lebih diorientasikan
untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat (demand driven oriented), ketimbang
mengembangkan pendekatan yang berat ke arah supply push technology (market
pull).
Keempat, perkembangan global yang
makin cepat, kesadaran publik yang makin tinggi, serta diferensiasi tugas
komponen negara yang semakin tajam menuntut redefinisi peran Negara.
Semakin maju suatu bangsa, maka peran Negara harus semakin efisien pada
wilayah-wilayah strategis saja. Dengan demikian, negara akan lebih
diposisikan menjadi stabilisator, fasilitator dan dinamisator.
Pelaku utama perubahan
(transformasi) adalah masyarakat. Karenanya diffusion oriented yang
menyebarkan hasil-hasil riset dan teknologi ke dalam masyarakat, sehingga
dapat langsung dimanfaatkan untuk kepentingan daya saing industri, layanan
masyarakat atau national security menjadi lebih mendapat prioritas.
Dengan demikian, kunci sukses
untuk mengintegrasikan Iptek dengan peradaban masyarakat madani adalah
inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, dan
untuk memacu pertumbuhan menjadi bangsa yang terhormat, maju dan
kompetitif. Sistem inovasi nasional mesti dibangun dan menjadi bagian
integral dari peradaban kita. Artinya kita akan membangun bangsa
inovasi (innovation nation) sebagai pilar kokoh bagi peradaban Indonesia
madani.
Terkait dengan kinerja Sistem
Inovasi Nasional kita, saya ingin mengungkap data dari Global Competitiveness
Index (WCI), World Economic Forum (WEF). Pada tahun 2010, peringkat daya saing
Indonesia meningkat dari urutan ke-54 menjadi peringkat ke-44. Dari 12
pilar yang ada dalam Global Competitiveness Index, untuk pilar Kesiapan
Teknologi (technological readiness) kita menempati peringkat ke-91, berada di
bawah negara-negara ASEAN, kecuali terhadap Filipina. Technological
readiness adalah indikator yang mencerminkan sejauh mana industri maupun
masyarkat kita, secara umum, mempunyai kesiapan untuk menyerap teknologi
dalam rangka meningkatkan produktifitas industri dan kemampuan ekonomi
mereka. Rendahnya aspek ini menunjukkan bahwa industri dan masyarakat kita
secara umum belum banyak memanfaat teknologi, baik teknologi yang
dikembangkan di dalam negeri, maupun teknologi yang didatangkan dari luar
negeri. Sedang untuk pilar Inovasi, Indonesia menempati peringkat ke-36,
berada di atas negara-negara ASEAN, kecuali Singapura dan Malaysia. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak bangsa dalam pengembangan inovasi
sesungguhnya tidak perlu diragukan.
3.2 Kualitas Aktor Madani
Selain faktor-faktor nomatif di
atas, untuk mewujudkan pembangunan peradaban Indonesia madani, para aktornya
harus memiliki kredebilitas yang cukup (credibility agent of change).
Tanpa syarat kualitas ini, maka peradaban yang dicitakan tidak akan pernah
terwujud apalagi membawa berkah bagi kehidupan kolektif. Tiga syarat
kredibilitas itu adalah: integritas, akseptabilitas dan
profesionalitas.
Pengemban perubahan peradaban
Indonesia madani mesti mempunyai integritas yang tinggi, baik dalam aspek
moralitas (ilahiyah), humanitas (insaniyah) maupun nasionalitas (wathoniyah),
sehingga kita memiliki vision, value dan commitment yang kokoh.
Kredibilitas personal ini adalah modal dasar terkait sikap dan karakter,
sekaligus sebagai komitmen nilai. Integritas moral menjamin para aktor
perubahan ini untuk tidak menyimpang dari garis akhlak yang diturunkan dari
langit, bahwa kita tidak diciptakan selain untuk beribadah kepada-Nya.
Integritas kemanusiaan membekali kita dengan budi pekerti kemanusiaan, bahwa
kita adalah makhluk Tuhan yang satu, yang wajib at-taawun alal birri wa taqwa
(tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan), dengan visi kemanusiaan untuk
memuliakan manusia. Integritas kebangsaan membekali para aktor
perubahan akan wawasan kesatuan nasionalitas-Nusantara, bahwa Indonesia
terdiri dari bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan bahasa yang satu,
sehingga kita visi nasional yang kokoh untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur.
Aktor perubahan peradaban
Indonesia madani haruslah memiliki akseptabilitas yang tinggi, sehingga
mereka dapat diterima dengan tulus oleh masyarakatnya. Kredibilitas
sosial ini harus diraih melalui interaksi dan berdasar pada ruh kepeduliaan
terhadap sesama. Kesetiakawanan sosial adalah semangat yang hidup dan
tumbuh dari habituasi dalam kolektifitas, bukan sesuatu yang bisa
dibuat-buat. Kualitas empati dan emotional quotion menjadi dasar bagi
aktor perubahan Indonesia madani meraih simpati sosial ini.
Dan terakhir, aktor perubahan
peradaban Indonesia madani haruslah memiliki profesionalitas yang tinggi,
sehingga mereka dapat diterima publik berbasis merit system, berbasis
kualitas kepakaran bukan koneksitas. Kredibilitas profesional ini harus
dibangun aktor perubahan Indonesia madani melalui bahan dasar
kompetensi-ekspertis, kemampuan manajemen, strategic thinking, dan sikap open
mind.
Dalam konteks Indonesia hari ini,
satu hal lagi yang harus ditambahkan, bahwa pembangunan peradaban Indonesia
madani menuntut sinergitas sosial yang tinggi. Bangsa yang besar ini,
dengan potensi kekayaan alam yang berlimpah, potensi kebudayaan yang
mengagumkan, dengan luas teritorial yang membentang, jumlah penduduk yang
besar, dengan ukuran ekonomi (economic scale) raksasa membutuhkan kolaborasi
unsur-unsurnya secara optimal, agar kita tidak terjebak pada zero sum
game—lost-lost solution—atau saling menyandera. The giant sleep ini
harus dibangunkan lalu berdiri kokoh seperti kal bunyanun marshuus (bangunan
yang kokoh), bekerja produktif ibarat kal syajarrot thoyyibah (pohon yang
baik), dan solid seperti kal jasadu wahid (badan yang satu).
4. PENUTUP
Membangun peradaban Indonesia Madani memerlukan dukungan Imtaq dan
Iptek. Karena sudah sangat jelas pilar utama masyarakat madani adalah
SDM-manusia. Manusia yang terdiri dari darah dan daging, dapat tegak
berdiri hanya dan hanya jika “ruh” ada di dalamnya. Kekuatan ruh
menjelma dalam akal (rasio) dan hati (mind). Itulah mengapa Imtaq
dan Iptek menjadi kepakan dua sayap, yang harus mengembang secara harmonis,
sebab yang kita ingin bangun adalah peradaban yang digusung oleh manusia yang
memiliki Integritas (Ilahiyah-Insaniyah-Wathoniyah), Akseptabilitas –
dan Profesionalitas ”--manusia yang punya kredibilitas (intelek sekaligus
relijius). Pembangunan peradaban madani bukan hanya memerlukan kecerdasan
akali tetapi juga qolbi—bukan hanya rasional-intelektual, tetapi juga sarat
aturan moral-spiritual. Inilah pembangunan yang bukan hanya menuai
keberkahan “bumi”, tetapi jugas restu dari “langit”, amin ya rabbal ‘alamin.
#
Wassalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.
Menteri Negara Riset dan Teknologi Suharna Surapranata |
Saturday, October 22, 2011
PERANAN IMTAQ DAN IPTEK DALAM MEMBANGUN PERADABAN INDONESIA MADANI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment