INFO PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN(PDPI) dari KKP [13-15 September 2013 ] : DPI Jawa Bali dan Nusa Tenggara : DPI (122’34’’21.9’’’BT, 9’12’’3.1’’’LS) Potensi (111’18’’54.2’’’BT, 8’46’’7.7’’’LS) (112’4’’59.4’’’BT, 8’27’’50.7’’’LS) (115’28’’3.7’’’, 9’7’’43.9’’’LS) (115’26’’37.2’’’BT, 9’26’’27.2’’’LS) (107’17’’23.2’’’BT, 8’0’’2.5’’’LS) DPI Kalimantan : -- DPI Maluku Papua : -- DPI Sumatera : Potensi (104’55’’48.3’’’BT, 6’27’’52.0’’’LS) DPI Sulawesi : Potensi (118’43’’55.8’’’BT, 1’45’’35.1’’’LS)

Friday, October 21, 2011

Potensi Budidaya Rumput Laut


  
Budidaya Rumput Laut
Dalam pembangunan diwilayah pesisir, salah satu pengembangan kegiatan ekonomi yang sedang digalakkan pemerintah adalah pengembangan budidaya rumput laut. Melalui program ini diharapkan dapat merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi wilayah akibat meningkatnya pendapatan masyarakat setempat.
Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai (Ditjenkan Budidaya, 2004).
Pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternative pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal : (1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) tersedianya lahan untuk budidaya yang cukup luas serta (3) mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001).

Biologi Rumput Laut
Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam divisio thallophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (duadua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous}, lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al, 1978).
Sejak tahun 1986 sampai sekarang jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Kepualauan Seribu adalah jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii ini juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii. Menurut Dawes dalam Kadi dan Atmadja (1988) bahwa secara taksonomi rumput laut jenis Eucheuma dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio             Rhodophyta
Kelas               Rhodophyceae
Ordo                Gigartinales
Famili              Solieriaceae
Genus              Eucheuma
Spesies            Eucheuma cottonii

Genus Eucheuma merupakan istilah popular di bidang niaga untuk jenis rumput laut penghasil karaginan. Nama istilah ini resmi bagi spesies Eucheuma yang ditentukan berdasarkan kajian filogenetis dan tipe karaginan yang terkandung di dalamnya. Jenis Eucheuma ini juga dikenal dengan Kappaphycus (Doty, 1987 dalam Yusron, 2005).
Ciri-ciri Eucheuma cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silindris atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abau-abu atau merah. Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks (Ditjenkan Budidaya, 2004).

Kondisi Fisika, Biologi dan Kimia Lingkungan         
Keberhasilan budidaya rumput laut dengan pemilihan lokasi yang tepat merupakan salah satu faktor penentu. Gambaran tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk budidaya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki. Lokasi dan lahan budidaya untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma di wilayah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi oseanografis yang meliputi parameter lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan (Puslitbangkan, 1991)
a. Kondisi Lingkungan Fisika
• Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh angin topan dan ombak yang kuat, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak sehingga diperairan teluk atau terbuka tetap terlindung oleh karang penghalang atau pulau di depannya untuk budidaya rumput laut (Puslitbangkan, 1991).
• Dasar perairan yang paling baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah yang stabil terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas dari lumpur,dengan gerakan air (arus) yang cukup 20-40 cm/detik (Ditjenkan Budidaya, 2005).
• Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah antara 2-15 m pada saat surut terendah untuk metode apung. Hal ini akan menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada waktu surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara langsung pada waktu air pasang (Ditjenkan Budidaya, 2005).
• Kenaikan temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan yang menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20-28°C dengan fluktuasi harian maksimum 4°C (Puslitbangkan, 1991)
• Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk kedalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan, 1991).
b. Kondisi Lingkungan Kimia
• Rumput laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 28- 35 ppt (Ditjenkan Budidaya, 2005).
• Mengandung cukup makanan berupa makro dan mikro nutrien. Menurut Joshimura dalam Wardoyo (1978) bahwa kandungan fosfat sangat baik bila berada pada kisaran 0,10-0,20 mg/1 sedangkan nitrat dalam kondisi berkecukupan biasanya berada pada kisaran antara 0,01-0,7 mg/1. Dengan demikian dapat dikatakan perairan tersebut mempunyai tingkat kesuburan yang baik dan dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut.
c. Kondisi Lingkungan Biologi
• Sebaiknya untuk perairan budidaya Eucheuma dipilih perairan yang secara alami ditumbuhi oleh komonitas dari berbagai makro algae seperti Ulve, Caulerpa, Padina, Hypnea dan lain-lain, dimana hal ini merupakan salah satu indikator bahwa perairan tersebut cocok untuk budidaya Eucheuma. Kemudian sebaiknya bebas dari hewan air lainnya yang besifat herbivora terutama ikan baronang/lingkis (siganus. spp), penyu laut (Chelonia midos} dan bulu babi yang dapat memakan tanaman budidaya (Puslitbangkan, 1991). Secara umum di Indonesia, budidaya rumput laut dilakukan dalam tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan. Ketiga budidaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Metode Dasar (bottom method)
Penanaman dengan methode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar perairan. Metode dasar merupakan metode pembudidayaan rumput laut dengan menggunakan bibit dengan berat tertentu.
2) Metode Lepas Dasar (off-bottom method)
Metode ini dapat dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk menancapkan patok/pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran yang berukuran 2,5x5 m2 dengan lebar mata 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput laut diikatkan pada simpul-simpulnya.
3) Metode Apung (floating method)/ Longline
Metode ini cocok untuk perairan dengan dasar perairan yang berkarang dan pergerakan airnya di dominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakitrakit dari bambu sedang dengan ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari ketersediaan material, tetapi umumnya 2,5x5 m2 untuk memudahkan pemeliharaan. Pada dasarnya metode ini sama dengan metode lepas dasar hanya posisi tanaman terapung dipermukaan mengikuti gerakan pasang surut. Untuk mempertahankan agar rakit tidak hanyut digunakan pemberat dari batu atau jangkar. Untuk menghemat area, beberapa rakit dapat dijadikan menjadi satu dan tiap rakit diberi jarak 1 meter untuk memudahkan dalam pemeliharaan. Bibit diikatkan pada tali plastik dan atau pada masing-masing simpul jaring yang telah direntangkan pada rakit tersebut dengan ukuran berkisar antara 100-150 gram.

Studi Analisis Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Kupang
Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan makanan kosmetika dan obatobatan tradisional sudah lama dikenal oleh masyarakat. Sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan industri yang memungkinkan untuk diekspor baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini, sehingga merangsang pengembangan untuk budidaya rumput laut. Pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat sangat perlu dilakukan mengingat besarnya potensi dan lahan yang dimiliki adalah 149,72 km2 dengan perkiraan poduksi yang cukup besar (Anonim, 2003).
Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah adalah 5.898,18 km2 dan secara geografis terletak antara 09° 19'-10° 57' LS dan 121° 31'-124° ll' BT. Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak dibagian barat Kabupaten Kupang dengan luas wilayah adalah 149,72 km2. Dengan wilayah perairan yang luas dan strategis serta memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar, maka perairan wilayah Kecamatan Kupang Barat perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan (Anonim, 2003). Pengembangan budidaya rumput laut telah dilaksanakan sejak tahun 1968 oleh Lembaga Penelitian Laut bekerjasama dengan Dinas Hidrografi Angkatan laut di Pulau Pari Kepulauan Seribu melalui uji coba budidaya E. spinosum dan E. edule yang bibitnya berasal dari perairan setempat. Kemudian dikembangkan juga E. cottonii yang bibitnya berasal dari Bali yang hasilnya telah memasyarakat sampai saat ini (Sulistijo, 1996).

Pertumbuhan dan Karaginan Rumput Laut
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thalus dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan. Namun demikian selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan yang harus diperhatikan seperti substrat perairan dan juga jarak tanam bibit dalam satu rakit apung (Syaputra, 2005).
Pertumbuhan juga merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Ukuran bibit rumput laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan bibit thallus yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Menurut Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan rumput laut yang dianggap cukup menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per hari. Rumput laut merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga hasil yang diperoleh (Syaputra, 2005).
Soegiarto et al, (1978), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara 2-3% per hari. Pada percobaan penanaman dengan menggunakan rak terapung pada tiga lapisan kedalaman tampak bahwa yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm) tumbuh lebih baik dari lapisan kedalaman dibawahnya karena cahaya matahari merupakan faktor penting untuk pertumbuhan rumput laut. Pada kedalaman tidak terjangkau cahaya matahari, maka rumput laut tidak dapat tumbuh. Demikian pula iklim, letak geografis dan faktor oceanografi sangat menentukan pertumbuhan rumput laut. Pertumbuhan rumput laut dikategorikan dalam pertumbuhan somatik dan pertumbuhan fisiologis. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat, panjang thallus sedangkan pertumbuhan fisiologis dilihat berdasarkan reproduksi dan kandungan koloidnya. Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu pada kelas Rhodophycae (alga merah). Spesies Eucheuma cotonii merupakan penghasil kappa karaginan sedangkan spesies Eucheuma spinosum merupakan penghasil iota karaginan. Karaginan juga merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan dimana kandungannnya sangat bervariasi tergantung musim, spesies dan habitat. Dalam karaginan terdapat garam sodium, potasiun dan kalsium. Karaginan potasiun yang terdiri dari alfa karaginan dan B-karaginan sifatnya dapat larut dalam air panas, sedangkan karaginan sodium dapat larut dalam air dingin (Percivel, 1968 dalam Iksan, 2005). Istilah karaginan mencakup sekelompok polisakarida linear sulfat dari Dgalaktosa dan 3,6-anhidro-D-galktosa yang diekstraksi dari jenis-jenis alga merah (Glicksman, 1983 dalam Iksan, 2005). Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat dengan galaktosa dan 3,6 anhydrogalaktocopolimer. Karaginan dapat diperoleh dari hasil pengendapan dengan alkohol, pengeringan dengan alat (drum drying) dan pembekuan. Jenis alkohol yang dapat digunakan untuk pemurnian yaitu metanol, ethanol dan isopropanol.

Model-Model Kajian Dalam Pengembangan Budidaya Rumput Laut
1. Model Sistem Informasi Geografis
Model Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai alat yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan informasi dan menampilkan suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data spasial atau ruang maupun data atribut. Pada prinsipnya sistem informasi geografis mempunyai beberapa langkah yang berurutan dan berkaitan erat mulai dari perencanaan, penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik, penggabungan peta, mengedit hingga pemetaan secara otomatis (Burough, 1986 dalam Fatmawati, 1998).
Teknologi SIG menjadi pilihan untuk menjawab permasalahan mengingat kemampuan yang dimilikinya yaitu dapat menampung, menyimpan, mengolah dan memanipulasi data spasial sehingga menghasilkan output sesuai dengan tujuan. Analisis keruangan (spatial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan dengan mudah dan cepat serta tepat dengan menggunakan SIG dalam menentukan suatu kawasan.
2. Model Konvensional
Model ini merupakan suatu alat yang digunakan untuk pengumpulan dan mendapatkan informasi suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data yang bersifat kovensional dalam merencanakan peneltian. Dalam menganalisis suatu kawasan untuk usaha sangat mudah dan cepat karna berdasarkan data survei namun tidak menggunakan data atribut untuk pemetaan
suatu kawasan.

Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi geografis sangat bermanfaat untuk penanganan data spasial daerah terutama untuk penyimpanan, editing, penampilan, perubahan dan pemodelan. Fungsi dari penyimpanan, editing, penampilan ini merupakan pengolahan data bagi presentasi dan penyajian data sedangkan kegunaan untuk mengetahui perubahan sangat bermanfaat untuk kegaitan monitoring, terutama variabel yang cepat berubah. Pemodelan sangat penting untuk menghasilkan informasi baru untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan usaha untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam semaksimal mungkin untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah tanpa meninggalkan aspek konservasi (Hartono,1995).
Menurut Burough, (1986) dalam Fatmawati, (1998) bahwa system informasi geografis dapat digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali informasi dan menampilkan suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data spasial atau ruang maupun data atribut. Pada prinsipnya sistem informasi geografis mempunyai beberapa langkah yang berurutan dan berkaitan erat mulai dari perencanaan, penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik, penggabungan peta, mengedit hingga pemetaan secara otomatisasi.
Perolehan informasi untuk pengelolaan lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan sangat diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemrosesan, penelusuran dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunaannya pada waktu yang diinginkan, pengelolaan informasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan SIG baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer (Dahuri et al, 2004).

Daya Dukung Lingkungan
Dewasa ini pemakaian daya dukung lingkungan dalam perencanaan suatu design budidaya laut terus berkembang. Melihat perkembangan sektor budidaya laut saat ini dan yang akan datang maka dalam mengembangkan suatu kawasan perairan sebagai lahan untuk budidaya perlu membuat model-model estimasi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah. Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Konsep daya dukung yang digunkan dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah konsep daya dukung ekologis. Daya dukung ekologis yaitu tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau wilayah sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.
Menurut Turner, (1988) dalam Rustam, (2005) bahwa daya dukung lingkungan adalah jumlah populasi organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang, siklus predator, temperatur, cahaya matahari atau salinitas (Rachmansyah, 2004).
Konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam jangka waktu yang lama.
Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang kegiatan budidaya ikan laut di keramba jaring apung (KJA) merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degredasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper et al, 1982 dalam Ali, 2003). Dalam hal menentukan daya dukung lingkungan untuk kawasan budidaya rumput laut sebagai bagian dari kegiatan budidaya laut maka estimasi ini akan menunjukkan berapa unit rakit yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan.

Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjuatan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED,1987 dalam Dahuri et al, 2004) Konsep dasar pembangunan berkelanjutan pertama kali dikemukan oleh "the club of Rome" pada tahun 1972, diantaranya mengandung pesan penting bahwa sumberdaya alam telah berada pada tingkat ketersediaan yang memprihatinkan dalam menopang keberlanjutan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Pesan tersebut pada diskusi "Limits to Growth" diawal tahun 1979-an berkembang membahas akibat perkembangan ekonomi yang tidak dapat dikendalikan terhadap penurunan kualitas lingkungan dan kehancuran sistem sosial secara global yang diakhiri dengan dikelurkannya resolusi bahwa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan (Dahuri et al, 2004). Pengembangan budidaya perikanan merupakan sistem usaha budidaya perikanan yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan laut dan payau seyogyanya berdasarkan pada : i) potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis budidaya, ii) kemampuan masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi budidaya, iii) pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu dan iv) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan menjadi leading sector (Dahuri, 2003).
Dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, pembangunan berkelanjutan yang memberikan semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya Konsep pembangunan berkelanjutan antara lain memiliki dimensi ekologis, dimensi ekonomi, dimensi sosial-ekonomi, dimensi sosial-politik serta dimensi hukum dan kelembagaan. Konsep pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologis menjelaskan bagaimana mengelola semua kegiatan pembangunan yang ada disuatu wilayah yang berhubungan dengan pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya bagi kehidupan manusia yang meliputi: jasa-jasa pendukung kehidupan; jasa-jasa kenyamanan; penyedia sumberdaya alam dan penerima limbah (Dahuri et al, 2004).
Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah dpertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan yang di dalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan yang akan mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak mengganggu siklus hidup hewan perairan, sedangkan batas administratif diperlukan batas pengelolaan wilayah atau kawasan tertentu.
Menurut Dahuri et al, (2004) bahwa hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku, namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore). Selanjutnya bahwa untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pamanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah adalah 5.898,18 km2 dan secara geografis terletak antara 09° 19'-10° 57' LS dan 121° 31'-124° ll' BT. Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak dibagian barat Kabupaten Kupang dengan luas wilayah adalah 149,72 km2. Dengan wilayah perairan yang luas dan strategis serta memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar, maka peraiaran wilayah Kecamatan Kupang Barat perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan (Anonim, 2003). Pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat merupakan salah satu konsep pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekitar pesisir.

Sumber: www.damandiri.or.id/file/

Tuesday, October 18, 2011

TEKNOLOGI KOMPLEMEN TERBARU PENDETEKSI TSUNAMI


Gambar 1. TEWS (www.kum.homepage.t-online.de)
 
Ina-TEWS adalah suatu system peringatan dini tsunami yang komprehensif, yang di dalamnya telah diterapkan teknologi baru yang dikenal dengan Decision Support System (DSS). DSS adalah sebuah sistem yang mengumpulkan semua informasi dari hasil sistem monitoring gempa, simulasi tsunami, monitoring tsunami dan deformasi kerak bumi setelah gempa terjadi. Kumpulan informasi ini merupakan faktor-faktor pendukung untuk menyiarkan berita peringatan dini tsunami dan evaluasi peringatan dini tsunami. Dari sistem monitoring tersebut, DSS akan mengeluarkan beberapa jenis berita atau peringatan dini yang harus diambil oleh operator pada waktu yang ditentukan melalui GUI (Graphic User Interface).

Ina- TEWS mampu memberikan peringatan dini tsunami dalam waktu lima menit setelah kejadian gempa bumi yang berpotensi membangkitkan tsunami. Ina-TEWS dibangun Pemerintah Indonesia dengan melibatkan 18 institusi Pemerintah, dan didukung finansial maupun teknologi dari 5 negara donor, yaitu Jerman, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Perancis dan telah diresmikan pada November 2008 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. (id.wikipedia.org)
 
Terdapat dua komponen utama dalam sistem Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS), yaitu komponen struktural dan kultural. Dalam komponen struktural sendiri terdapat tiga bagian yang berperan yaitu seismometer yang dioperasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), alat pasang surut yang dipasang di pantai-pantai dan dioperasikan oleh Bakosurtanal serta Tsunami Buoy,kata Kepala Program Operasi Ina Buoy TEWS BPPT, Wahyu Pandoe saat diwawancara oleh salah satu stasiun televisi swasta mengenai Buoy Tsunami hasil kerekayasaan BPPT (18/03).


Buoy Tsunami , lanjut Wahyu, berfungsi untuk mendeteksi ada atau tidaknya gelombang tsunami. Perlu dicatat, yang mendeteksi sebenarnya bukan buoynya, tetapi Ocean Bottom Unit atau OBU yang diletakkan di dasar lautlah yang dapat mendeteksi ada atau tidaknya gelombang tsunami, jelasnya.

OBU secara aktif mengirim data melalui underwater acoustic modem ke tsunami buoy yang terpasang di permukaan laut. Tsunami Buoy sendiri berperan sebagai penerima data dari OBU. Kemudian, tsunami buoy mentransmisikan data tersebut via satelit ke pusat pemantau tsunami Read Down Station (RDS) di Gedung I BPPT lantai 20. Buoy yang dipasang di dekat sumber gempa dan tsunami, bekerja berdasarkan gelombang tsunami atau anomali elevasi muka air laut yang dideteksi oleh sensor yang ditempatkan di OBU.

Alat inilah yang berfungsi merekam kedatangan gelombang tsunami. Bilamana terjadi perubahan air laut yang tiba-tiba, itu salah satu indikasi yang menandakan adanya tsunami. Sistem ini kemudian akan berubah menjadi tsunami warning yang berupa data gelombang akustik kemudian dikirimkan ke buoy. Dari buoy lalu akan dikirim ke salah RDS di BPPT, tutur Wahyu.


Buoy di perairan Indonesia

Buoy yang sekarang dioperasikan di perairan Indonesia terdiri dari empat jenis, yaitu Buoy Tsunami Indonesia, Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART) Amerika, German-Indonesian Tsunami Warning System (GITWS) dan Buoy Wavestan.
Sejak tahun 2006, kita sudah memasang buoy di 17 titik dari barat Sumatera hingga ke daerah perairan timur Indonesia. Meskipun sudah banyak yang terpasang, namun seringkali buoy-buoy tersebut mengalami kerusakan ataupun hilang. Seperti yang di Laut Flores, kita sudah melakukan tiga kali pemasangan dan tiga kali itu pula mengalami kerusakan dan pengerusakan. Begitu pula yang ada di Mentawai dan selatan Cilacap. Seringkali ditemukan buoy-buoy tersebut mengalami kerusakan sehingga mesti sering ditarik untuk dilakukan perbaikan, katanya.

Oleh karena itu, lanjut Wahyu, sangat diharapkan bantuan masyarakat khususnya nelayan dalam menjaga buoy tsunami di laut. Karena alat ini satu-satunya alat di laut yang dapat mengkonfirmasi ada atau tidaknya tsunami. Dengan terjaganya buoy tsunami ini, maka akan sangat menolong keselamatan masyarakat, terutama yang ada di pesisir.


Pengembangan lanjutan

Untuk kedepannya, jelas Wahyu, akan dilakukan pengembangan dalam sistem Ina TEWS yaitu dengan menggunakan sistem kabel laut. Jadi dari OBU yang ditempatkan di laut dalam, akan dihubungkan ke tower atau mercusuar di pantai dengan menggunakan kabel, dan diteruskan ke stasiun RDS di BPPT.

Direncanakan sistem kabel laut ini akan diterapkan di lima titik awal yaitu Ujung Kulon, Pulau Enggano Bengkulu, selatan dan utara Pulau Siberut, serta Pulau Rondo. Dengan adanya kabel laut ini bukan berarti kita menghilangkan peran buoy. Buoy tetap dipasang, namun sistem kabel laut digunakan sebagai komplemen. Indikatornya adalah buoy untuk mendeteksi tsunami yang sifatnya long distance atau tsunami jarak jauh. Sementara sistem kabel ini diharapkan bisa mendeteksi tsunami lokal atau urgent tsunami, tutup Wahyu.
(Sumber: http://www.bppt.go.id)

Rumput Laut / Alga (Seaweed)


Daftar Jenis ALGA HIJAU:

Boergesenia Forbesii (Harvey) Halimeda borneensis

Bornetella nitida (Harvey) Halimeda copiosa

Caulerpa brachypus Harvey Halimeda cunneata Hering

Caulerpa cupressoides Halimeda cylindraceae Decaisne

Caulerpa fergusonii Muray Halimeda discoidea Decaisne

Caulerpa lentillifera J. Agardh Halimeda distorta

Caulerpa lessonii Bory Halimeda gracilis

Caulerpa racemosa (Fors) Halimeda laccunalis Taylor

Caulerpa racemosa v. clavivera Halimeda macroloba Decaisne

Caulerpa racemosa var lamouraouxii Halimeda macrophysa Askenasy

Caulerpa racemosa var macrophysa Halimeda micronesica Yamada

Caulerpa racemosa var Occidentalis Halimeda minima (W.R. Taylor)

Caulerpa racemosa var uvifera Halimeda opuntia (Linnaeus)

Caulerpa racemosa var. turbinata Halimeda renschii Hauck

Caulerpa serrulata Halimeda simulans Howe

Caulerpa sertulariodes Halimeda tuna (Ellis and Solander) Lam.

Caulerpa sp. Neomeris annulata Dickie

Caulerpa taxifolia Tydemania Expeditions Weber van Bosse

Chaetomorpha antennina Udotea argentea Zanardini

Chaetomorpha crassa Udotea flabellum (Ellis and Solander)

Codium decorticatum Ulva fasciata Delile

Codium edule silva Ulva lactuca Linnaeus

Codium geppii schmitt Ulva pertusa Kjellman

Codium guinense Silva Ulva reticulata Forsskal

Codium harveyi Silva Ulva sp.

Dictyosphaeria cavernosa Valonia ventricosa J. Agardh

Boergesenia Forbesii (Harvey)Nama Latin: Boergeseia Forbesii;
Boergesenia Forbesii (Harvey)Nama Latin: Boergeseia Forbesii;


Spesifikasi:
Ciri-ciri umum. Thallus berbentuk seperti balon yang mirip gada melengkung dan bagian pangkalnya sangat mengecil tempat melekatkan diri, warna hijau transparan, berdinding tipis dan bagian dalamnya berisi cairan. Tinggi kurang dari 3 cm, diameter bagian

Sebaran:
Habitat. Tumbuh melekat pada karang mati, batuan atau sebagai epifit pada lamun. Pada umumnya hidup di zona pasang surut dan dalam kolam. Sebaran. Asli alge tropis. Mudah ditemukan di seluruh perairan Nusantara.

Potensi:
Manfaat. Tidak ada informasi pemanfaatannya.

FOTO LAINNYA
















boergeseniaforbesii1.bmpboergeseniaforbesii2.bmp


boergeseniaforbesii3.bmp







 Alga Coklat:


Daftar Jenis ALGA COKLAT:

Cystoseira sp. Sargassum crassifolium

Dictyopteris sp. Sargassum cristaefolium

Dictyota bartayresiana Lamouroux Sargassum duplicatum J.G. Agardh

Hormophysa cuneiformis Sargassum echinocarpum

Hormophysa triquetra (C. Agardh) Sargassum plagyophyllum (Mertens)

Hydroclathrus clatratus (C. Agardh) Sargassum polycystum

Oseng Turbinaria conoides (J. Agardh)

Padina australis Hauck Turbinaria decurens (Bory)

Sargassum binderi (Sonder) Turbinaria murayana

Sargassum cinereum J.G. Agardh Turbinaria ornata (Turner) J. Argadh


Cystoseira sp.Nama Latin: Cystoseira sp;

Cystoseira_sp.gif

Spesifikasi:
Ciri-ciri umum. Alge tegak, warna coklat, sumbu tegak silindris, 'daun' bagian bawah besar seperti pita, bertepi rata, tersusun berhadapan atau agak berseling, vesikula oval atau bulat tersusun berseri, 2-3 deret, ujungnya runcing, reseptakel seperti t

Sebaran:
Habitat. Hidup mulai dari zona pasang surut bagian tengah hingga subtidal. Sering ditemukan dalam kolam-kolam besar pasang surut yang berdasar karang. Sebaran. Cosmopolitan di perairan tropis hingga subtropis. Kurang banyak ditemukan di peraira

Potensi:
Belum dimanfaatkan

FOTO LAINNYA
cystoseira3.bmpcystoseirasp1.bmpcystoseira2.bmp   


Alga Merah:

Daftar Jenis ALGA MERAH:

Acanthophora muscoides Gracilaria foliifera (Forsskal) Boergese

Acantophora specifera Gracilaria gigas Harvey

Actinotrichia fragilis (Forsskal) Gracilaria salicornia

Amphiora peruana Gracilaria salicornia (C. Agardh) Dawson

Amphiroa beauvoisii Lamouroux Gracilaria verrucosa

Amphiroa rigida Halymenia durvillaei

Amphiroa sp. Halymenia harveyana J. Agardh

Ceratodityon variabilis Hypnea asperi Bory

Chondrococcus hornemannii Hypnea cervicornis J. Agardh.

Corallina sp. Hypnea cornuta

Eucheuma denticulatum Jania adherens

Eucheuma edule Kappaphycus alvarezii (Doty)

Eucheuma edule Koetzing Kappaphycus cottonii

Eucheuma serra J. Agardh Kappaphycus striatum

Galaxaura filamentosa Chou Laurencia elata

Galaxaura Kjellmanii Weber van Bosse Laurencia intricata Lamouroux

Galaxaura rugosa (Solander) Lamouroux Laurencia nidifica J. Agardh.

Galaxaura subfruticulosa Chou. Laurencia obtusa (Hudson) Lamouroux

Galaxaura subvefficillata Kjellman Laurencia poitei

Galaxaura vietnamensis Dawson Liagora divaricata Tseng

Gelidium latifolium Porphyglossum zolingerii

Gelidium Sp Porphyra sp.

Gigartina affinis Harvey Porphyra sp. fase conchocelis

Gracilaria arcuata Zanardini Portieria hornemanii

Gracilaria coronopifolia J. Agardh. Rhodimenia sp.

Gracilaria eucheumioides Harvey Rhodymenia palmata (Linnaeus) Greville

Gracilaria foliifera (Forsskal) Boergese Titanophora pulchra Dawson

Acanthophora muscoidesNama Latin: Acanthophora muscoides;

Acanthophora muscoides.gif

Spesifikasi:
Thallus silindris, berduri tumpul seperti bulatan lonjong merapat yang terdapat di hampir seluruh permukaan thalli. Percabangan tidak teratur, gembal merimbun di bagian atas rumpun, warna coklat tua. Tinggi rumpun dapat dapat mencapai sekitar 15 cm.

Sebaran:
Tumbuh melekat pada batu di daerah rataan terumbu, biasanya di tempat yang selalu tergenang air dan sering terkena ombak langsung. Sebarannya tidak seluas A. spicifera, agak terbatas pada tempat tertentu saja, misal di Kepulauan Seribu.

Potensi:Belum dimanfaatkan

Sumber: http://www.iptek.net.id






Monday, October 17, 2011

Konsep Budidaya Udang Windu Ramah Lingkungan

Tawarkan Konsep Budidaya Udang Windu Ramah Lingkungan, Fakhrudin Al Rozi Raih Juara Nasional




Pria kelahiran Bantul, 10 Januari 1985 ini dalam karya tulisnya yang berjudul ”Penerapan Budidaya Udang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan melalui Aplikasi Bakteri Antagonis untuk Biokontrol Vibriosis Udang Windu” menawarkan solusi penggunaan bakteri yang terdapat di alam seperti Lactobacillus spp, Bacillus spp dan Staphylococcus spp untuk menghambat pertumbuh bakteri vibriosis yang bersifat merugikan petani dimana membunuh 90 persen populasi larva udang windu yang berumur di bawah satu bulan.
”Pertumbuhan bakteri vibriosis ini sangat merugikan petani tambak udang windu bahkan mengakibatkan gagal panen. Bakteri Vibrio ini melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran,” katanya.
Serangan bakteri vibriosis ini diakui Rozi, merupakan masalah utama yang dihadapi petambak udang windu pada awal tahun 1990 hingga sekarang. Penyakit ini di kalangan petani tambak lebih dikenal dengan nama serangan penyakit udang menyala, karena udang yang sudah terserang pada lingkungan gelap akan tampak bercahaya.
Sebelumnya, berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia kini tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan, yaitu pada dosis tertentu justru berdampak negatif yaitu meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik.
Menurut Rozi, penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan, yaitu pada dosis tertentu justru berdampak negatif karena meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia.
”Di negara uni Eropa sudah menerapkan zero percent untuk penggunaan antibiotik pada udang windu,” tambahnya.
Diakui oleh anak ketiga dari empat bersaudara ini, udang windu merupakan primadona komoditas perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional. Sehingga usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor, udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.
”Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging ke produk ikan dan udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal ini sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan ekspor,” jelasnya.
Diakui Rozi, pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen biokontrol akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem biosecurity untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya udang.
Adapun aplikasi bakteri antagonis dalam budidaya udang windu dapat diterapkan dalam bentuk pembuatan pakan obat dengan menambah probiotik dari bakteri antagonis. Sementara pada tahap pemeliharaan, dapat dilakukan secara langsung melalui pemberian bakteri antagonis dengan dosis tertentu. (Humas UGM/Gusti Grehenson) 
Sumber : http://www.ugm.ac.id

Sunday, October 16, 2011

Budidaya Udang Windu

1. SEJARAH SINGKAT


















Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid. Udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, yang bisa disebut udang penaeid oleh para ahli.
Udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi. Bagi Indonesia udang merupakan primadona ekspor non migas. Permintaan konsumen dunia terhadap udang rata-rata naik 11,5% per tahun. Walaupun masih banyak kendala, namun hingga saat ini negara produsen udang yang menjadi pesaing baru ekspor udang Indonesia terus bermunculan.

2. SENTRA PERIKANAN
Daerah penyebaran benih udang windu antara lain: Sulawesi Selatan (Jeneponto, Tamanroya, Nassara, Suppa), Jawa Tengah (Sluke, Lasem), dan Jawa Timur (Banyuwangi, Situbondo, Tuban, Bangkalan, dan Sumenep), Aceh, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, dan lain-lain.

3. JENIS
Klasifikasi udang adalah sebagai berikut:
Klas : Crustacea (binatang berkulit keras)
Sub-klas : Malacostraca (udang-udangan tingkat tinggi)
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda (binatang berkaki sepuluh)
Sub-ordo : Natantia (kaki digunakan untuk berenang)
Famili : Palaemonidae, Penaeidae

4. MANFAAT
1) Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, yaitu 21%, dan rendah kolesterol, karena kandungan lemaknya hanya 0,2%. Kandungan vitaminnya dalam 100 gram bahan adalah vitamin A 60 SI/100; dan vitamin B1 0,01 mg. Sedangkan kandungan mineral yang penting adalah zat kapur dan fosfor, masing-masing 136 mg dan 170 mg per 100 gram bahan.
2) Udang dapat diolah dengan beberapa cara, seperti beku, kering, kaleng, terasi, krupuk, dll.
3) Limbah pengolahan udang yang berupa jengger (daging di pangkal kepala) dapat dimanfaatkan untuk membuat pasta udang dan hidrolisat protein.
4) Limbah yang berupa kepala dan kaki udang dapat dibuat tepung udang, sebagai sumber kolesterol bagi pakan udang budidaya.
5) Limbah yang berupa kulit udang mengandung chitin 25% dan di negara maju sudah dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi, kosmetik, bioteknologi, tekstil, kertas, pangan, dll.
6) Chitosan yang terdapat dalam kepala udang dapat dimanfaatkan dalam industri kain, karena tahan api dan dapat menambah kekuatan zat pewarna dengan sifatnya yang tidak mudah larut dalam air.

5. PERSYARATAN LOKASI
1) Lokasi yang cocok untuk tambak udang adalah pada daerah sepanjang pantai (beberapa meter dari permukaan air laut) dengan suhu rata-rata 26-28 derajat C.
2) Tanah yang ideal untuk tambak udang adalah yang bertekstur liat atau liat berpasir, karena dapat menahan air. Tanah dengan tekstur ini mudah dipadatkan dan tidak pecah-pecah.
3) Tekstur tanah dasar terdiri dari lumpur liat berdebu atau lumpur berpasir, dengan kandungan pasir tidak lebih dari 20%. Tanah tidak boleh porous (ngrokos).
4) Jenis perairan yang dikehendaki oleh udang adalah air payau atau air tawar tergantung jenis udang yang dipelihara. Daerah yang paling cocok untuk pertambakan adalah daerah pasang surut dengan fluktuasi pasang surut 2-3 meter.
5) Parameter fisik: suhu/temperatur=26-30 derajat C; kadar garam/salinitas=0- 35 permil dan optimal=10-30 permil; kecerahan air=25-30 cm (diukur dengan secchi disk)
6) Parameter kimia: pH=7,5-8,5; DO=4-8 mg/liter; Amonia (NH3) < 0,1 mg/liter; H2S< 0,1 mg/liter; Nitrat (NO3-)=200 mg/liter; Nitrit (NO3-)=0,5 mg/liter; Mercuri (Hg)=0-0,002 mg/liter; Tembaga (Cu)=0-0,02 mg/liter; Seng (Zn)=0- 0,02 mg/liter; Krom Heksavalen (Cr)=0-0,05 mg/liter; Kadmiun (Cd)=0-0,01 mg/liter; Timbal (Pb)=0-0,03 mg/liter; Arsen (Ar)=0-1 mg/liter; Selenium (Se)=0-0,05 mg/liter; Sianida (CN)=0-0,02 mg/liter; Sulfida (S)=0-0,002 mg/liter; Flourida (F)=0-1,5 mg/liter; dan Klorin bebas (Cl2)=0-0,003 mg/liter

Sumber: http://www.warintek.ristek.go.id