INFO PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN(PDPI) dari KKP [13-15 September 2013 ] : DPI Jawa Bali dan Nusa Tenggara : DPI (122’34’’21.9’’’BT, 9’12’’3.1’’’LS) Potensi (111’18’’54.2’’’BT, 8’46’’7.7’’’LS) (112’4’’59.4’’’BT, 8’27’’50.7’’’LS) (115’28’’3.7’’’, 9’7’’43.9’’’LS) (115’26’’37.2’’’BT, 9’26’’27.2’’’LS) (107’17’’23.2’’’BT, 8’0’’2.5’’’LS) DPI Kalimantan : -- DPI Maluku Papua : -- DPI Sumatera : Potensi (104’55’’48.3’’’BT, 6’27’’52.0’’’LS) DPI Sulawesi : Potensi (118’43’’55.8’’’BT, 1’45’’35.1’’’LS)

Thursday, October 27, 2011

TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PANTAI PULAU PARI


STRUKTUR KOMUNITAS  TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PANTAI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Terumbu karang memiliki nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi fisik, segi biologi dan ekologi perairan laut juga dari segi sosial ekonomi. Ditinjau dari segi fisik, terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi. Struktur karang yang keras dapat menahan gelombang dan arus, sehingga mengurangi erosi pantai dan mencegah rusaknya ekosistem pantai lain seperti padang lamun dan bakau. Dari segi biologi dan ekologi perairan laut, terumbu karang memiliki fungsi antara lain sebagai gudang keanekaragaman hayati, sebagai tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi organisme laut. Dari segi sosial ekonomi, terumbu karang merupakan sumber perikanan yang produktif, sehingga dapat membentu meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, bahkan devisa negara.

1.2. Tujuan
1)       Mempelajari keterkaitan antara biota dalam ekosistem terumbu karang di Pulau Pari.
2)       Mengamati dan mendata komunitas habitat dasar di ekosistem terumbu karang di Pulau Pari Kepulauan Seribu.
3)       Mengasah kemampuan dalam mengidentifikasi lifeform (bentuk hidup) biota habitat dasar di pulau Pari.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepulauan Seribu Secara Umum
                Kepulauan seribu terdiri dari 108 pulau karang dengan dasar batu karang. Terumbu karang di kepulauan seribu merupakan tipe karang tepi (fringing reef)dan geomorfologinya dipengaruhi oleh pantai (Hutomo, 1991). Kepulauan Seribumerupakan suatu system pulau karang yang dikelilingi Terumbu Karang, Padang Lamun, Mangrove, dan pantai berpasir. Luasan Terumbu Karang mencapai 108.000 hektar dengan sisa mangrove seluas 18 hektar. Ekosistem terumbu karang di kepulauan seribu dihuni oelh penduduk yang terbesar di enam kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau harapan, Kelurahan Pulau panggang, Kelurahan Pulau tidung, kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Untung Jawa (Priyono, 2004).
2.2. Ekosistem Terumbu Karang
                Terumbu karang merupakan  ekosistem yang khas terdapat didaerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan laut tropis dengan laut subtropics maupun kutub (Nybakken, 1992). Kelangsungan hidup ekosistem Terumbu karang dibatasi oleh beberapa factor lingkungan yaitu cahaya, suhu, salinitas, kejernihan air, arus, danm substrat.Terumbu karang selalu terdapat di perairan tropis dangkal antara 0 sampai 50 meter, dasar keras dan perairan jernih dengan suhu rata-rata tahunan tidak pernah lebih rendah dari 18°C, serta berarus. Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan dengan suhu 25°C-30°C, tersebari di daerah tropisantara 30°LU dan 25°LS (Sukarno, 1994). Suhu ekstrim yang masih bisa ditoleransi adalah 40°C (Nybakken, 1992).
                Cahaya adalah salah satu factor pembatas terpenting. Cahaya diperlukanoleh zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, yang nantinyaakan membantu koral untuk menghasilkan terumbu. Batas komposisi karang diacu dalam hal ini adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15%-20% dari intensitas permukaan (Nybakken, 1992). Faktor pembatas selanjutnyaadalah salinitas. Terumbu karang sangat sensitive terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dari kisaran normal. Salinitas air laut adalah 32%o – 35%o (Nybakken, 1992).

2.3. Penyusunan Habitat Dasar Ekosistem Terumbu Karang
                Karang memiliki sifat yang sangat unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan, arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif yaitu selalu mengarah ke atas menuju matahari (Suharsono, 1984). Karang batu merupakan biota yang secara dominan menyusun system habitat dasar terumbu (tomascik et al, 1997). Karang batu tergolong dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, Subkelas Zoantharia (Hexacorallia), ordo scleractinia (Madreporaria).
                Klasifikasi karang batu menurut Veron (1995) adalah:
Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili: Acroporiidae
Genus: Acropora
Spesies: Acrophora Formosa
Famili: Faviidae
Genus: Hydnophora
Spesies: Hydnophora rigidu

Karang pembangun terumbu dapat hidup berkoloni atau soliter, tetapi hamper semua karang hermatipik merupakan koloni dengan berbagai individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau kerangka yang massif (Nybakken, 1982). Karang lunak merupakan biota lain penyususn habitat dasar ekosistem terumbu karang. Karang lunak memiliki kelimpahan yang tinggi dilingkungan terumbu karang dan dapat menimbulkan efek negative pada pertumbuhan daya tahan karang batu. Hal ini diakibatkan dengan adanya kandungan senyawa terpendam dalam karang lunak yang bersifat racun bagi biota lain, sehingga bisa mematikan biota tersebut (Maida et al, 1995nin febricius, 1996).

2.4. Pengelompokan Ikan Karang
                Berdasarkan interaksinya dengan habitat, ikan-ikan karang dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen kunci, yaitu kelompok ikan Chaetodontoid yang terdiri atas family Chaetodontidae dan Pomacanthiidae; Kelompok ikan Acanthuroid terdiri dari Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae; dan kelompok ikan Lamroid meliputi Scaridae, Pomacentridae dan Labridae (Choat dan Bellwood, 1991). Pengelompokkan utama ikan karnag diwakili oleh ikan-ikan percifform kecuali beberapa family dari kelompok labroid, seluruhnya memiliki pola distribusi yang terkait dengan terumbu karang.
                Kelompok lainya juga ditemukan didaerah terumbu maupun non terumbu adalah predator besar yang memakan invertebrate bergerak, ikan lain dan juga planktivor. Famili yang tergolong kelompok ini adalah Muraenidae, Holocentridae, Apogonidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae dan Serranidae. Sedangkan yang termasuk planktivor dan piscivor pelagis adalah Caesionidae dan Carangidae (Choat dan Bellwood, 1991).

2.5. Interaksi antara Ikan Karang dengan Terumbu
                Daerah terumbu menyediakan berbagai bentukk dan ukuran ruang bagi banyak karang. Sebagian besar ikan karang aktif di saing hari dan sisahnya aktif di malam hari. Saat tidak aktif malam hari ikan-ikan nocturnal berlindung dalam naungannya dan ikan durnal beraktivitas diluar (Sale, 1991).
                Secara umu, interaksi ikan karang terhadap habitatnya diterumbu karang mencakup tiga kegiatan (Choat dan Bellwood, 1991) yaitu:
1.       Interaksi langsung dengan struktur terumbu karang sebagai tempat perlindungan.
2.       Kegiatan makan dari ikan-iakn yang mengkonsumsi biota sessile, termasuk alga. Efek sekunder yang terjadi adalah adanya persaingan tempat antara karang denagn alga.
3.       Hubungan antara struktur terumbu dengan pola makan dari planktivor dan karnivor, dalam hal ini ikan-ikan pemakan plankton dan ikan kecil lain dapat mempertahankan energy dan nutrient dalam system trumbu.

Kelompok ikan herbivore merupakan kelompok yang kelimpahanya terbesar kedua setelah karnivora (kurang lebih 15 % dari seluruh spesies ikan). Ikan herbivore berperan dalam proses penting di terumbu, yaitu sebagai penyambung aliran energi dari produsen ke konsumen lainya.

III. METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk mengambil data biota habitat dasar adalah alat SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), rol meter, alat tulis bawah air, kamera bawah air, buku identifikasi karang (Veron, 1986), GPS (Global Positioning System), dan kapal motor. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengambil data fisika dan kimia perairan adalah thermometer, refraktometer, secchi disc, stop watch, dan papan silang.
3.2. Lokasi dan Waktu
Pratikum dan pengambilan data akan dilaksanakan pada tanggal 27-28 Desember 2010 bertempat di pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Gugus Pulau Pari terletak pada bagian paling Selatan dari Pulau-Pulau di Kepulauan Seribu, sekitar 40 km sebelah barat laut kota Jakarta, dengan batas-batas yang terletak pada 05o46’15’’ LS – 05o59’30’’ dan 106026’00’’ BT-106034’22’’ BT. Gugus Pulau Pari merupakan sekumpulan dari Pulau-Pulau seperti : Pulau Tikus, Pulau Burung, Pulau Tengah, dan Pulau Pari. Pulau Pari merupakan terbesar dari ke lima pulau penyusun Gugus Pulau Pari. Panjangnya sekitar 2,5 km, lebar bagian terpendek sekitar 60 m dan bagian terpanjang sekitar 400m.


  
          Gambar 1. Peta Lokasi Praktikum

3.3.  Pengambilan data Terumbu Karang
Pengambilan data habitat dasar terumbu karang menggunakan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect). Transek garis dibuat dengan cara membentangkan rol meter berskala sejajar garis pantai sepanjang 25 meter yang mencakup tiga kali ulangan dengan interval jarak sekitar 0 – 5 meter antar ulangan, sehingga total transek yang diamati adalah 75 meter. Transek garis dibentangkan pada dua strata kedalaman, yaitu tiga meter (perwakilan daerah dangkal) dan enam sampai sepuluh meter (perwakilan daerah dalam). Pengamatan biota pengisi habitat dasar dicatat berdasarkan lifeform (bentuk pertumbuhan), biota dan komponen abiotik lain yang ditemukan sepanjang transek garis (English et al., 1994). Penggololongan bentuk pertumbuhan dan kode yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut.

 

Kelompok
Kode
Hard Coral (Karang Keras)

Acropora

Branching
ACB
Digitate
ACD
Encrusting
ACE
Submassive
ACS
Tabulate
ACT
Non - Acropora

Encrusting
CE
Branching
CB
Foliose
CF
Massive
CM
Submassive
CS
Mushroom
CMR
Millepora
CME
Heliopora
CHL
Dead Coral
DC
Dead Coral with algae
DCA
Other Fauna

Soft Coral
SC
Sponges
SP
Zoantids
ZO
Other
OT
Algae

Algae Assemblage
AA
Coralline Algae
CA
Halimeda
HA
Macro Algae
MA
Turf Algae
TA
Abiotik

Sand
S
Rubble
R
Silt
SI
Water
WA
Rock
RC


































3.4. Pengolahan Data
a. Persen Penutupan Habitat Dasar
   Komponen habitat dasar serta panjang transisi penutupan yang ditemukan sepanjang transek garis, dikelompokkan menurut bentuk pertumbuhannya. Rumus dibawah digunakan untuk menghitung persentase penutupan karang (English et al., 1994) :

Gomez dan Yap (1988) membagi ke dalam empat criteria penutupan karang. Kriteria penilaian penutupan karang dapat dilihat pada tabel berikut.
 

Persentase Penutupan ( % )
Kriteria
 0 - 24,9
Buruk
25 - 49,9
Sedang
50 - 74,9
Baik
75 - 100
Sangat baik







Tabel 3. Kriteria persentase penutupan karang
Sumber : Gomez dan Yap (1988)

b. Indeks Mortalitas Karang
            Penghitungan rasio kematian karang keras dapat memperlihatkan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Rasio tersebut diketahui melalui indeks mortalitas ( IM ). 



             Nilai indeks mortalitas yang mendekati nol menunjukkan bahwa tidaj ada perubahan yang berarti bagi karang hidup, sedangkan nilai yang mendekati satu menunjukkan bahwa terjadi perubahan berarti dari karang hidup menjadi karang mati.
c. Proporsi Kemunculan Karang Keras
            Proporsi nilai karang digunakan untuk mengetahui kemunculan karang keras di suatu daerah dan keanekaragaman relatif karang keras. Semakin besar nilai proporsi di suatu daerah menunjukkan bahwa tingkat kemunculan karang keras di daerah tersebut tinggi, selain itu juga daerah tersebut mempunyai keanekaragaman yang tinggi. 


                                                                                       Rumus -rumus






Daftar Pustaka
English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources 2nd Edition. Australian Institute of Marine Science. h. 34 – 80. Townsvlle.
Gomez, E.D. dan H. T. Yap,. 1988. Monitoring Reef Conditions, In : Kenchington, R. A and B. E. T. Hudson (eds). h. 187 – 196. Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta.



Kapal KM Madidihang 03 di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta



I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Produksi perikanan di Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh penangkapan ikan di laut yang dihasilkan dari laut seluas 5,7 juta km2 dengan potensi lestari lebih kurang 6,2 juta ton/tahun.  Tingkat pemanfaatan potensi perikanan laut tersebut baru mencapai 62% dari Maximum Sustainable Yield (MSY).  Pada tahun 2003 pemerintah akan meningkatkan volume tangkapan ikan laut   sampai dengan 80% dari MSY atau yang lebih dikenal dengan istilah Total Allowable Catch (TAC), sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan produktifitas penangkapan ikan di laut serta menjaga kelestarian sumberdaya ikan di laut (Ditjenkan, 1998).
            Ikan yang hidup di laut dapat dibagi dua yaitu : ikan permukaan (pelagic) yang hidup di dalam kolom air dari permukaan sampai dengan di atas dasar dan ikan dasar (demersal) yang hidup berada di dasar atau berasosiasi dengan dasar perairan.  Ikan dasar seperti : kakap (Lutjanus spp), kurisi (Nemiptherus spp), petek (Leognatus spp), manyung (Arius spp), dan lain sebagainya.  Alat tangkap ikan dasar yang biasa digunakan yaitu : purse seine, jaring insang dasar, pancing dasar, trammel net, cantrang, trawl, dan lain sebagainya.
Salah satu contoh aplikasi dari teknologi akustik kelautan ialah adanya pemanfaatan alat hidro akustik untuk mendeteksi dan penangkapan ikan di laut, seperti  pada perhitungan kemampuan tangkap dan faktor lolosnya ikan dilakukan dengan mengoperasikan alat tangkap trawl dasar bersamaan dengan alat akustik beam , yaitu alat akustik atau Scientifik Echo Sounder yang dapat dipergunakan untuk mendetekti kumpulan ikan (besar dan jumlah ikan) yang berada di alur penangkapan trawl.  Maksudnya adalah trawl dasar untuk mengetahui berapa jumlah hasil tangkapan dan berapa ukuranya tiap-tiap ikan hasil tangkapan, sedangkan alat akustik untuk mengetahui berapa banyak ikan yang berada di alur penangkapan. Sehingga hasil tangkapan trawl dasar dan hasil deteksi alat akustik dapat dibandingkan.
            Dengan memanfaatkan teknologi hidro akustik maka kita dapat mengetahui nilai dan karakteristik target strength serta informasi yang dibutuhkan dalam pendugaan stok ikan seperti jenis ukuran, jumlah dan kelimpahan sumberdaya ikan dapat diketahui dengan mudah sehingga dapat membantu dalam proses penangkapan ikan di laut Indonesia.
1.2. Tujuan
Tujuan field trip ini adalah agar mahasiswa memperoleh tambahan pengetahuan tentang penggunaan alat akustik kelautan secara langsung dan mengamati proses atau tatacara dalam pemakaiannya di bidang kelautan.


II. METODOLOGI
2.1. Tempat dan Lokasi
Field trip dilakukan di kapal KM Madidihang 03 di Pelabuhan Samudra Muara Baru, Jakarta.
2.2. Peralatan
Adapun peralatan yang dibutuhkan dalam field trip ini adalah alat tulis dan kamera digital.



III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. KM Madidihang 03
                               
Gambar 1. KM Madidihang 03
KM. Madidihang 03 merupakan Kapal latih dan riset perikanan Sekolah Tinggi Perikanan. KM. Madidihang 03 yang dibangun di Galangan Kapal Astilleros Gondan Shipyard, Spanyol merupakan salah satu komponen bantuan pinjaman dari Pemerintah Kerajaan Spanyol melalui proyek "Fisheries Training Development in Indonesia (FTDI)" kepada Pemerintah Indonesia. Salah satu tujuan dari proyek tersebut adalah meningkatkan fasilitas sarana pendidikan kelautan dan perikanan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM Indonesia di sektor kelautan dan perikanan. Kapal yang dilengkapi berbagai alat canggih dan modern ini diharapkan akan dapat menjadi tempat pelatihan di masa datang dan diharapkan pula akan meningkatkan kuantitas dan kualitas pengembangan kelautan dan perikanan Indonesia.
Kapal KM Madidihang 03 memiliki bobot mati 723 GT dan dilengkapi dengan alat tangkap purse seine dan long line itu dibeli dari Pemerintah Spanyol dengan total dana pinjaman senilai 20,3 juta euro. Dana pinjaman itu antara lain untuk pengadaan kapal senilai 13 juta euro. Kapal itu memiliki laboratorium perikanan, alat tangkap purse seine dan long line, palka berukuran 70 ton, Fresh Water Maker sebagai sumber air bersih dan gudang pendingin (cold storage), serta ruang tidur untuk anak buah kapal (ABK). Adapun dana selebihnya untuk beasiswa perikanan, pengadaan simulator penangkapan ikan di sekolah perikanan.

3.2. Spesifikasi dari KM Madidihang 03
  • Spesifikasi teknis kapal latih perikanan KM Madidihang 03 dapat diawakili oleh 23 orang awak kapal dan 4 orang instruktur/peneliti ini secara umum memiliki bobot mati 723 GT, merupakan kapal latih jenis multipurpose dengan alat tangkap purse seine dan long line, dilengkapi dengan fasilitas peralatan laboratorium oseanografi, serta ruang kelas dan akomodasi untuk 50 orang taruna. Adapun pada kecepatan ekonomis 11 knots, kapal ini didesain dapat beroperasi selama 40 hari. Secara lengkap data teknis kapal adalah sebagai berikut:
    Panjang keseluruhan : 50,00 meter
    Panjang antara garis tegak : 43,00 meter
    Lebar Terbesar : 9,80 meter
    Tinggi dari lunas ke dek teratas : 6,65 meter
    Tinggi dari lunas ke dek utama : 4,35 meter
    Sarat : 4,08 meter
  • Kecepatan Kapal
    Kecepatan Dinas : +/- 13,0 knot (90% MCR)
    Kecepatan Maksimum : +/- 14,0 knot (100% MCR)
    Kecepatan Ekonomis : +/- 11,0 knot (50% MCR)
  • Kapasitas
    Bahan Bakar : +/- 266 m3
    Air Tawar : +/- 52 m3
    Palka Ikan : +/- 70 m3
  • Deadweight : +/- 380 ton
  • Ketahanan Berlayar (kecepatan 11,0 knot)
  • Propulsi : +/- 40 hari
    Mesin Utama : Marine Diesel Engine
    MAN ALPHA 6l28/32ª 1470 kW
    Propeller : Controlable Pitch 2700 mm
  • Pengawakan
    Anak Buah Kapal : 23 orang
    Instruktur : 2 orang
    Peneliti : 2 orang
    Taruna : 50 orang
  • Klasifikasi :
    Bureau Veritas I + Hull Fishing Vessel + Mach
    Un-restricted Navigation
  • Perlengkapan Riset
    CTD : SBE 911 plus, 6600
    Scientific Echosounder : EA 600
    Fish Finder : EK 60
    ADCP : TRDI 75 Hz
    TSGF : SBE 21
    Turner 10 Au Flourmeter
    Guidekine Salinometer : PORTASAL
    Meteo
    Scientific GPD : SEAPATH 20 NAV
    Dive equipment : 10 units
    Underwater Camera : 2

PENGERTIAN DASAR DAN CARA KERJA AKUSTIK


- Akustik                 :        Teori gel. suara dan perambatannya dalam suatu medium.
          -Akustik kelautanMarine Acoustics”     :       Teori gel. suara dan perambatannya dalam medium air laut. 
         - Gelombang suara   :  gejala yang disebarkan oleh perubahan tekanan
—    partikel-partikel padat, tekanan udara bertambah, partikel-partikel jarang, tekanan berkurang.
—   Perubahan tekanan dalam perambatan suara secara periodik yang menghasilkan
      siklus dalam satuan waktu tertentu dikenal dengan Frekuensi suara
     (f) dalam Hertz, Hz

           Sehingga akustik kelautan merupakan bagian dari instrumentasi kelautan yang digunakan untuk mendeteksi benda, biota laut, ataupun lapisan sedimen yang berada di dasar lautan yang secara umum terbagi dalam sistem SONAR dan ECHOSOUNDER. Sistem Sonar memancarkan gelombang suara secara horizontal sehingga dapat mendeteksi misalnya benda-benda yang berada di depan kapal ataupun di belakang kapal. sedangkan Echosounder memancarkan gelombang suara secara vertikal sehingga dalam aplikasinya sering digunakan untuk mendeteksi keberadaan ikan atau benda-benda yang berada di bawah kapal. 

 Komponen Echosounder




 Keunggulan Metode Akustik
  Berkecepatan tinggi (great speed), àquick assessment method” ----- manual
  Estimasi stok ikan secara langsung (direct estimation) ----- tanpa analisis parameter lingkungan
  Memungkinkan memperoleh dan memproses data secara real time
  Akurasi dan ketepatan tinggi (accuracy and precision).
  Tidak berbahaya atau merusak ----- tidak menyentuh objek
  Bisa digunakan jika metode lain tidak bisa / tidak mungkin dilakukan.

Penerepan Teknologi Akustik
 
Di bidang kelautan penerapan teknologi akustik bawah air  misalnya untuk eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya non-hayati seperti :
  Pengukuran kedalaman dasar laut (Bathymetry)
  Pengidentifikasian jenis-jenis lapisan sedimen dasar laut (Subbottom Profilers)
  Pemetaan dasar laut (Sea bed Mapping)
  Pemetaan habitat dasar laut (Habitat Mapping)
  Pencarian kapal-kapal karam di dasar laut
  Penentuan jalur pipa dan kabel dibawah dasar laut
  Analisa dampak lingkungan di dasar laut


 
Gambar : Subbottom Profilers dan Pemetaan dasar laut

Sumber : itk.fpik.ipb 




Daftar Pustaka

1. Kinsler, Frey, Coppens, and Sanders, “Fundamental of Acoustics”, Wiley, New York, 1982. (Buku Teks)            
2. Robert J. Urick, “Principles of Underwater Sound”, Peninsula Publishing, California, 1983.     
3. Robert J. Urick, “Sound Propagation in the Sea”, Peninsula Publishing, California, 1983           


MIKROKONTROLER

Mikrokontroler (ATMega8535)
 
Mikrokontroler adalah suatu keping IC dimana terdapat mikroprosesor dan memori program (ROM) serta memori serbaguna (RAM), bahkan ada beberapa jenis mikrokontroler yang memiliki fasilitas ADC, PLL, EEPROM dalam satu kemasan. Penggunaan mikrokontroler dalam bidang kontrol sangat luas dan populer. Mikrokontroler merupakan komputer didalam  chip yang digunakan untuk mengontrol peralatan elektronik, yang menekankan efisiensi dan efektifitas biaya. Secara harfiahnya bisa disebut "pengendali kecil" dimana sebuah sistem elektronik yang sebelumnya banyak memerlukan komponen-komponen pendukung seperti IC TTL dan CMOS dapat direduksi/diperkecil dan akhirnya terpusat serta dikendalikan oleh mikrokontroler ini.
            Secara teknis hanya ada 2 jenis mikrokontroler yaitu RISC dan CISC dan masing-masing mempunyai keturunan/keluarga  sendiri-sendiri. RISC kependekan dari Reduced Instruction Set Computer : instruksi terbatas tapi memiliki fasilitas yang lebih banyak. CISC kependekan dari Complex Instruction Set Computer : instruksi bisa dikatakan lebih lengkap tapi dengan fasilitas secukupnya.
Ada beberapa vendor yang membuat mikrokontroler diantaranya Intel, Microchip, Winbond, Atmel, Philips, Xemics dan lain - lain. Dari beberapa vendor tersebut, yang paling populer digunakan adalah mikrokontroler buatan Atmel.
Mikrokontroler AVR (Alf and Vegard’s Risc prosesor) memiliki arsitektur RISC 8 bit, di mana semua instruksi dikemas dalam kode 16-bit (16-bits word) dan sebagian besar instruksi dieksekusi dalam 1 (satu) siklus clock, berbeda dengan instruksi MCS 51 yang membutuhkan 12 siklus clock. Tentu saja itu terjadi karena kedua jenis mikrokontroler tersebut memiliki arsitektur yang berbeda. AVR berteknologi RISC (Reduced Instruction Set Computing), sedangkan seri MCS 51 berteknologi CISC (Complex Instruction Set Computing).
Secara umum, AVR dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas, yaitu keluarga ATtiny, keluarga AT90Sxx, keluarga ATMega dan AT86RFxx. Pada dasarnya yang membedakan masing–masing kelas adalah memori, peripheral, dan fungsinya. Dari segi arsitektur dan instruksi yang digunakan, mereka bisa dikatakan hampir sama. Oleh karena itu, dipergunakan salah satu AVR produk Atmel, yaitu ATMega8535/16/32. 

Konfigurasi Pin ATMega8535 
Dari gambar di atas dapat dijelaskan secara fungsional konfigurasi pin ATMega8535 sebagai berikut:
1.      VCC merupakan pin yang berfungsi sebagai pin masukan catu daya.
2.      GND merupakan pin ground.
3.      Port A (PA0..PA7) merupakan pin I/O dua arah dan pin masukan ADC.
4.      Port B (PB0..PB7) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus, yaitu Timer/Counter,komparator analog,dan SPI.
5.      Port C (PC0..PC7) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus, yaitu TWI,komparator analog dan Timer Oscillator.
6.      Port D (PD0..PD7) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus, yaitu komparator analog,interupsi eksternal,dan komunikasi serial.
7.      RESET merupakan pin yang digunakan untuk me-reset mikrokontroler.
8.      XTAL1 dan XTAL2 merupakan pin masukan clock ekstenal.
9.      AVCC merupakan pin masukan tegangan untuk ADC.
10.  AREF merupakan pin masukan tegangan referensi ADC.
Untuk memprogram mikrokontroler dapat menggunakan bahasa assembler atau bahasa tingkat tinggi yaitu bahasa C.
Port Sebagai Input / Output Digital
Atmega 8535 mempunyai empat buah port yang bernama PortA, PortB, PortC, dan PortD. Keempat port tersebut merupakan jalur bi-directional dengan pilihan internal pull-up.
Tiap port mempunyai tiga buah register bit, yaitu DDxn, PORTxn, dan PINxn. Huruf ‘x’ mewakili nama huruf dari port sedangkan huruf ‘n’ mewakili nomor bit. Bit DDxn terdapat pada I/O address DDRx, bit PORTxn terdapat pada I/O address PORTx, dan bit PINxn terdapat pada I/O address PINx. Bit DDxn dalam register DDRx (Data Direction Register) menentukan arah pin. Bila DDxn diset 1, maka Px berfungsi sebagai pin output. Bila DDxn diset 0 maka Px berfungsi sebagai pin input. Bila PORTxn diset 1 pada saat pin terkonfigurasi sebagai pin input, maka resistor pull-up akan diaktifkan. Untuk mematikan resistor pull-up, PORTxn harus diset 0 atau pin dikonfigurasi sebagai pin output. Pin port adalah tri-state setelah kondisi reset. Bila PORTxn diset 1 pada saat pin terkonfigurasi sebagai pin output maka pin port akan berlogika 1. Dan bila PORTxn diset 0 pada saat pin terkonfigurasi sebagai pin output maka pin port akan berlogika 0.
Saat mengubah kondisi port dari kondisi tri-state (DDxn=0, PORTxn=0) ke kondisi output high (DDxn=1, PORTxn=1) maka harus ada kondisi peralihan apakah itu kondisi pull-up enabled (DDxn=0, PORTxn=1) atau kondisi output low (DDxn=1, PORTxn=0). Biasanya, kondisi pull-up enabled dapat diterima sepenuhnya, selama lingkungan impedansi tinggi tidak memperhatikan perbedaan antara sebuah strong high driver dengan sebuah pull-up. Jika ini bukan suatu masalah, maka bit PUD pada register SFIOR dapat diset 1 untuk mematikan semua pull-up dalam semua port. Peralihan dari kondisi input dengan pull-up ke kondisi output low juga menimbulkan masalah yang sama. Maka harus menggunakan kondisi tri-state (DDxn=0, PORTxn=0) atau kondisi output high (DDxn=1, PORTxn=0) sebagai kondisi transisi.
Tabel Konfigurasi Pin Port

Tabel diatas menunjukkan konfigurasi pin pada port-port mikrokontroler. Bit 2 – PUD = Pull-up Disable, bila bit diset bernilai 1 maka pull-up pada port I/O akan dimatikan walaupun register DDxn dan PORTxn dikonfigurasikan untuk menyalakan pull-up (DDxn=0, PORTxn=1).
Sumber : micro club dte(itk fpik ipb)