INFO PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN(PDPI) dari KKP [13-15 September 2013 ] : DPI Jawa Bali dan Nusa Tenggara : DPI (122’34’’21.9’’’BT, 9’12’’3.1’’’LS) Potensi (111’18’’54.2’’’BT, 8’46’’7.7’’’LS) (112’4’’59.4’’’BT, 8’27’’50.7’’’LS) (115’28’’3.7’’’, 9’7’’43.9’’’LS) (115’26’’37.2’’’BT, 9’26’’27.2’’’LS) (107’17’’23.2’’’BT, 8’0’’2.5’’’LS) DPI Kalimantan : -- DPI Maluku Papua : -- DPI Sumatera : Potensi (104’55’’48.3’’’BT, 6’27’’52.0’’’LS) DPI Sulawesi : Potensi (118’43’’55.8’’’BT, 1’45’’35.1’’’LS)

Saturday, July 30, 2011

GAMBARAN SISTEM PENGELOLAAN PELABUHAN PERIKANAN DI INDONESIA

SISTEM PENGELOLAAN PELABUHAN PERIKANAN

Secara  umum kita telah mengetahui apa itu pelabuhan perikanan, tetapi untuk urusan siapa dan bagaimana sistem pengelolaan di pelabuhan itu sendiri  masih banyak para nelayan yang kurang tahu.

Pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan(DKP) biasanya dalam mengelola TPI(Tempat Pelelangan Ikan) menunjuk atau memilih koperasi yang benar-benar berdedikasi dalam mengurus TPI untuk selanjutnya diberikan izin dalam hal pengelolaan TPI baik itu dari penyediaan sarana dan prasarana maupun dalam hal pengelolaan dana TPI. Koperasi dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan kesepakatan dan izin yang telah diberikan oleh pemerintah, sebagai contoh dalam hal penentuan harga ikan, retribusi, keamanan, jaminan kesehatan, dan kebijakan subsidi dalam musim paceklik( biasanya musim barat yang gelombang dan anginnya kencang kira-kira bulan 12 - bulan 2).

Koperasi memperoleh masukan dana lewat retribusi dan potongan biaya perawatan dan pengelolaan TPI untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam hal menunjang kemajuan TPI itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber masukan utama di koperasi ialah dana pengelolaan yang berasal dari nelayan karena mereka telah memakai TPI. Sedangkan punggutan yang harus mereka setor ke pemerintah adalah dana retribusi yang berdasarkan perda daerah masing-masing, sebagai contoh di Pelabuhan Karangsong Indramayu setiap kali pelelangan nelayan dikenai retribusi (potongan wajib karena telah memakai fasilitas Pelabuhan), yaitu sebesar 2% dari nelayan dan 3% dari pembeli yang kemudian akan disetor ke pemerintah setiap 1 bulan sekali.  Selain biaya potongan tersebut nelayan juga dikenakan potongan dari koperasi yang mengelola TPI tersebut baik itu dana kesehatan, simpanan paceklik, ataupun yang lain yang kurang lebih kalau ditotal potongan keseluruhan dari nelayan adalah 5%(termasuk retribusi). 

Pertanyaannya: Sudah tepat kah penggunaan dan pengawasan dana dari nelayan tersebut untuk kesejahteraan nelayan ?

Dan taukah kalau sebenarnya salah satu subangan dana yang besar ke pemerintah adalah berasal dari pelabuhan-pelabuhan yang sebagian besar nelayannya memilki kapasitas melaut kurang lebih 40 hari atau dari kapal-kapal dengan ukuran 20 GT keatas.
Sebagai contoh di TPI Karangsong dana masukan ke pemerintah dapat mencapai  ratusan juta per bulan(Sumber PKL dari penulis), belum daerah yang lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kelautan memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan kedepannya... termasuk kerwirausahaan dalam hal penyediaan kapal tangkap bagi nelayan akan terus jadi peluang bisnis bagi pemilik modal atau juragan.

Koreksinya, pemerintah seharusnya benar-benar menjamin dan mendukung lagi program-program kesejahteraan bagi nelayan kecil( nahkoda, ABK kapal, dan nelayan perahu kecil) seperti memberlakukan adanya Jamsostek bagi nelayan, peningkatan pelayanan keselamatan, perbaikan subsidi paceklik dan lain-lain yang dapat memberikan jaminan yang bermutu bagi nelayan guna mendukung kemajuan kelautan dan perikanan Indonesia.















ALAT AKUSTIK DAN NAVIGASI DI KAPAL NELAYAN

 
ALAT AKUSTIK DAN NAVIGASI DI  KAPAL NELAYAN

Dalam setiap kapal operasi penangkapan ikan di laut diperlukan adanya peralatan dan tenaga ahli yang dapat mendukung proses penangkapan ikan, baik itu dari kerjasama tim antara seorang nahkoda dengan anak buah kapal(ABK) maupun dari kelengkapan peralatan yang dapat menunjang ketepatan dan keefesienan proses penangkapan.
Secara umum keberhasilan dalam proses penangkapan ikan di laut tidak hanya ditentukan oleh sekedar unit penangkapannya( nelayan, kapal, dan alat tangkap) tetapi dibutuhkan juga peralatan pendukung lainnya, seperti GPS dan Fishfinder  yang membantu nelayan untuk lebih hemat dan tepat dalam menentukan daerah penangkapan yang sesuai, tanpa harus berkeliling membuang-buang bahan bakar. Selain itu kerja sama dari pihak pemerintah juga sangat penting dalam memberikan informasi berupa kecepatan arus dan angin, estimasi koordinat daerah penangkapan ikan hasil pengolahan dari teknologi penginderaan jarak jauh(Satelite Remote Sensing), dan informasi lainnya yang dapat mendukung proses operasi penangkapan ikan agar berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, pengadaan alat bantu sangat penting bagi nelayan selain dari alat tangkap itu sendiri, yaitu seperti GPS(Global Positioning System) untuk navigasi, alat akustik penentu posisi dan kedalaman perairan(Fishfinder), alat komunikasi seperti Radio komunikasi(SSB atau single side band), dan pengukur keadaan air seperti suhu, salinitas, klorofil, dll. Kendalanya alat bantu tersebut tidak semua nelayan dapat memiliki karena harga dari alat itu sendiri yang mahal. Biasanya kapal nelayan untuk ukuran kurang lebih 10 GT(Gross Ton) mereka hanya menggunakan kompas dan untuk penentuan DPI-nya mereka masih memakai cara tradisional atau dengan menebak menggunakan insting sehingga hasil yang didapat juga tidak memuaskan. Sedangkan untuk kapal tangkap ikan yang berukuran + 20 GT keatas biasanya alat bantu mereka sudah lengkap sehingga hasil yang mereka peroleh juga optimal dan lebih efesien dalam waktu dan biaya.

Gambar 1. Alat Navigasi GPS Furuno oleh nelayan Karangsong, Indramayu

Gambar 2. Radio komunikasi SSB(Single Side Band) oleh nelayan Karangsong, Indramayu


PENENTUAN FISHING GROUND TUNA DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Sumberdaya Ikan Tuna( Thunnus sp.)
Tuna adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol(schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km per jam. Kemampuan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis yang cukup luas), termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya.
Jenis tuna menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenis tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur tetapi dipengaruhi oleh garis lintang. Di samudera Hindia dan Atlantik menyebar di antara 400 LU  dan 400 LS (Collete dan Nauen, 1983). Khususnya di Indonesia (Uktolseja et al., 1991), tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar.
Distribusi ikan tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis(genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku(behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Kedalaman renang tuna bervariasi tergantung dari jenisnya. Umumnya tuna dapat tertangkap di kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang disukai berkisar antara 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17 -31 o C.
Madidihang ( Thunnus Albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang Madidihang bisa sampai 2 meter (Uktolseja et al., 1991). Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu berkisar antara 17-310 C dengan suhu optimum berkisar antara 19-230 C (Nontji, 1987), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20-280 C (Uda, 1952 vide Laevastu dan Hela, 1970).
Tuna mata besar (Thunnus obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulau-pulau di Indonesia  sampai di Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan sebelah selatan jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan laut Maluku. Menurut Uda (1952) dalam Laevastu dan Hela (1970), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11-280 C dengan kisaran suhu penangkapan antara 18-230 C.
Sebaran tuna Albakora(Thunnus Alalunga) sangat dipengaruhi oleh suhu. Jenis ini menyenangi suhu yang lebih rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif kecil dibanding dengan dua jenis tuna di atas. Tuna sirip biru(Thunnus maccoyi) didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan. Oleh karena itu jenis ini sering disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.
1.2. Penentuan Fishing Ground Tuna
Penentuan daerah penangkapan ikan tuna menggunakan data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika, kimia, dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air(up-welling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di suatu perairan. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan  atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schooling) ikan tuna berdasarkan koordinat lintang dan bujur.
Satelit NOAA merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. Sensor utama satelit NOAA adalah AVHRR(Advance Very High Resolution Radiometer) untuk pengamatan lingkungan dan cuaca yang dapat memberi informasi kelautan, seperti suhu permukaan laut yang berguna dalam mendeteksi keberadaan ikan( Hasyim, 1993). Sedangkan data yang diperoleh dari SeaWiFs adalah data klorofil atau zat hijau daun. Data ini digunakan untuk mendeteksi front yang dapat dijadikan indikasi bahwa daerah tersebut diduga tempat berkumpulnya ikan tuna. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan mendeteksi lokasi yang banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau saja (Hasyim, 1993).
Sugimoto dan Tameishi (1992) melakukan penelitian tentang daerah penangkapan ikan tuna menyatakan bahwa massa air hangat yang bertemu dengan massa angin dingin yang dibawa arus menjadi perangkap dengan suhu 22-23 0 C. Ikan tuna sirip biru (bluefin tuna) dan madidihang (yellowfin tuna) memanfaatkan cicin air hangat dengan suhu sekitar 19 0 C dalam ruayanya. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna sangat penting untuk menginterpretasikan citra satelit yang digunakan dalam pembuatan sebuah peta fishing ground tuna.
Penetuan posisi dapat dilihat dari terjadinya front dan upwelling. Front yaitu pertemuan antara dua massa air yang mempunyai karakteristik yang berbeda, baik temperatur maupun salinitas. Seperti pertemuan antara massa air laut jawa yang lebih panas dengan massa air dari Samudera Hindia yang lebih dingin. Front yang terbentuk mempunyai produktivitas karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan feeding ground bagi jenis ikan pelagis, selain itu pertemuan massa air yang berbeda merupakan perangkap bagi migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar, hal ini menyebabkan daerah front merupakan fishing ground yang baik. Sedangkan upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993).

                                                              DAFTAR PUSTAKA
Collette, B. B., dan C. E. Nauen.1983. Scmrids of the world. FAO Fish Syn. 2(125), 137p.
Harsanugraha WK dan Ety Parwati. 1996. Aplikasi Model-Model Estimasi Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Data NOAA-AVHRR. Warta Inderaja Vol VIII. No.2 : P23-35.
Hasyim B, Chandra E. Adi. 1999. Analisis Pola Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Utara Pulau Bali. Majalah LAPAN No.01Vol 01 p 1-8.
Hela, I., dan T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News(Books)LTD. London.
Narain A. 1993. Remote Sensing and Fisheries Exploration : Case studies. In International Workshop on Aplication of Satelite Remote Sensing for Identifying and Foresting Potential Fishing Zone in Developing Counteries. Hyderabad, India. p. 1-24.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Sugimoto, T. and H. Tameishi. 1992. Warm core rings, Streamers and Their Role on The Fishing Ground Formation Around Japan. Deep Sea Res. 39 (Suppli. 1) : S183-S201.
Uktolseja, J. C. B. 1987. Estimated Growth Parameters and Migration of Skipjack Tuna-Katsuwonus pelamis In The Easthern Indonesia Water Through Tagging Experiments. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal 15-44.
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. 195 p.