Zaenal Arifin, Komang Andrat dan Subiyanto
Abstrak
Pada
umumnya budidaya vannamei di tambak
menggunakan teknologi intensip sebagai
akibat padat tebar yang tinggi, bisa mencapai 100 – 300 ekor/m2. Dengan
padat tebar yang tinggi, maka biaya untuk konstruksi, pakan dan sarana
lainnya akan semakin tinggi pula. Oleh
karena itu budidaya vannamei ini cenderung hanya bisa dilaksanakan oleh pengusaha
atau petambak kelas menengah ke atas. Sedangkan petambak kecil hampir tidak ada
yang memproduksi udang vannamei dikarenakan belum adanya teknologi sederhana
yang terjangkau kemampuan dan dapat diterapkan oleh mereka.
Budidaya
udang vannamei dengan menerapkan teknologi sederhana telah dilakukan di tambak BBPBAP Jepara. Luas tambak yang digunakan 7000 m2, padat tebar benih 7
ekor/m2, dengan ukuran PL13. Untuk menumbuhkan pakan alami, pada saat
persiapan tambak, dilakukan pemupukan menggunakan pupuk urea dan TSP.
Sebagai pakan tambahan, udang diberi
pakan buatan. Untuk menumbuhkan bakteri
yang menguntungkan digunakan probiotik. Pemeliharaan udang diahiri setelah
udang mencapai umur 60 hari atau berat
rerata 10 gram/ekor. Panen udang yang
didapat dari teknologi ini adalah 385 kg atau 550 kg/Ha. Dengan analisa usaha
sederhana didapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 1.800.000,- atau Rp
2.571.428/Ha/MT.
Keyword:
vannamei, teknologi sederhana
PENERAPAN TEKNOLOGI SEDERHANA DALAM PRODUKSI UDANG
VANNAMEI (Litopenaeus vannamei)
Zaenal Arifin, Komang Andrat dan Subiyanto
I.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setelah banyaknya
serangan penyakit pada budidaya udang
windu (Penaeus monodon), ada
kecenderungan udang introduksi, seperti L. Vannamei, menjadi komoditas
alternatif pada budidaya udang di tambak. Meskipun udang vannamei merupakan
udang asli dari belahan bumi lain yaitu dari bagian barat pantai Amerika
Latin, mulai dari Peru di sebelah
selatan, hingga Meksiko, di sebelah utara, (Briggs, et al. 2004), udang ini
dapat dibudidayakan di daerah tropis, seperti Indonesia.
Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh udang
vannamei antara lain responsif terhadap pakan yang diberikan atau nafsu makan
yang tinggi, lebih tahan terhadap serangan penyakit dan lingkungan yang kurang baik. Udang vannamei
juga memiliki pasaran yang pesat di tingkat internasional (Ariawan, 2005).
Bahkan udang ini sudah laku dijual pada saat berukuran 7,0 – 10,0 gram/ekor
atau pada saat udang berumur sekitar 60 hari di tambak.
Selanjutnya menurut Briggs et al. (2004), udang
vannamei membutuhkan pakan dengan kandungan protein 25-30%, lebih rendah ketimbang udang windu. Di
samping itu feeding efficiencynya juga lebih baik, dengan FCR 1: 1,2 pada
budidaya vannamei secara intensif,
sedangkan FCR udang windu 1:1,6. Karena
kedua alasan tersebut dan dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan sintasan yang
lebih tinggi, maka biaya produksi udang vannamei lebih rendah hingga 25-30% ketimbang biaya
produksi udang windu.
Namun demikian, pada
umumnya budidaya vannamei di tambak
menggunakan teknologi intensip sebagai
akibat padat tebar yang tinggi, bisa mencapai 100 – 300 ekor/m2. Dengan
padat tebar yang tinggi, maka biaya untuk konstruksi, pakan dan sarana lainnya akan semakin tinggi pula. Oleh karena itu
budidaya vannamei ini cenderung hanya bisa dilaksanakan oleh pengusaha atau
petambak kelas menengah ke atas. Sedangkan petambak kecil hampir tidak ada yang
memproduksi udang vannamei dikarenakan belum adanya teknologi sederhana yang
terjangkau kemampuan dan dapat diterapkan oleh
mereka.
Sehubungan
dengan itu maka untuk melengkapi paket teknologi budidaya udang vannamei di
tambak dan untuk memenuhi kebutuhan petambak kecil terhadap paket teknologi
budidaya udang tersebut, BBPBAP Jepara
mengkaji dan menerapkan teknologi budidaya udang vannamei di tambak
secara sederhana dengan masa pemeliharaan yang lebih singkat (sekitar 60 hari).
1.2. Tujuan
Tujuan
kegiatan ini adalah mengkaji teknologi sederhana budidaya udang vannamei
di tambak dengan masa pemeliharaan 60 hari.
1.3. Sasaran
Adapun sasaran kegiatan ini adalah menghasilkan
paket teknologi sederhana budidaya udang vannamei di tambak. Dari teknologi
yang diterapkan ini diharapkan dihasilkan berat rata-rata udang 10 gram/ekor
dan sintasan lebih dari 70% selama pemeliharaan 60 hari di tambak.
II. BAHAN DAN METODE
2.1. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada kegiatan ini anatara lain:
-
Benih
vannamei PL12
-
Pakan
buatan
-
Pupuk
anorganik
-
Saponin
-
Kapur
-
Probiotik
-
Inokulan
plankton
-
Feed
additive
-
Biofilter/biscreen
Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain peralatan analisa tanah dan
air, peralatan ukur dan timbang, serta peralatan lapangan, seperti jala tebar,
seserm e,mber dan lain-lain.
2.2.
Waktu dan Tempat
Kegiatan
ini dilaksanakan di tambak BBPBAP Jepara yaitu tambak F . Pelaksanaan
kegiatan dilaksanakan pada bulan Oktober
sampai Desember 2005. Kegiatan yang dilakukan meliputi inventarisasi data dan
informasi lapangan seperti kualitas air
dan tanah dasar, perbaikan konstruksi pematang, serta pengolahan tanah dasar,
penebaran benih, pemeliharaan dan panen.
2.3.Metode
2.3.1. Persiapan Petakan
Persiapan tambak yang dilakukan meliputi
pengeringan tanah dasar tambak, pembalikan tanah dasar, perbaikan dan pengkedapan pematang,
pengapuran, pemberantasan hama serta perbaikan pintu air. Kualitas tanah dasar
tambak dikatakan siap bila nilai pH>6,5, redoks > -50, bahan organik
tanah <12 c="" dan="" rasio="" tanah="">10/1 (Supito, et all., 2006).12>
3.2. Persiapan
air
Air yang digunakan untuk kegiatan
budidaya udang ini adalah air yang sudah diperbaiki kualitasnya melalui petak
pengendapan dan biofilter. Untuk
mencegah masuknya ikan-ikan liar dan crustacea lain dilakukan penyaringan air
dengan saringan kasa dengan mesh size 0,5 – 1,0 mm. Untuk menumbuhkan plankton dilakukan
pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik (urea dan TSP). Kemudidan
dilakukan aplikasi probiotik jenis Bacillus sp dengan dosis 1 liter/petak.
3.3. Penebaran
Penebaran benih dilakukan pada pagi hari pada saat
suhu masih rendah, dengan tujuan untuk
mengurangi stres akibat pemanenan, transportasi ataupun akibat pemilahan dengan
formalin. Penebaran dilakukan secara perlahan-lahan atau melalui proses
adaptasi terhadap suhu dan salinitas. Padat tebar pada kegiatan ini adalah
7 ekor/m2 dengan ukuran benih
yang ditebar PL13.
3.4.
Pemeliharaan
Untuk
mempercepat proses tumbuhnya udang yang dipelihara, maka diberikan pakan buatan
yang disesuaikan dengan ukuran, umur pemeliharaan serta diet pakan (Tabel 1). Disamping
itu, juga diberikan pakan segar sebanyak 2 kg setiap aplikasi dan diberikan
selama dua hari sebelum tebar sampai dua hari setelah tebar. Pakan segar juga
diberikan selama pemeliharaan yaitu untuk meningkatkan nafsu makan. Selain pakan segar, juga diberikan feed
additive berupa vitamin C yang dicampur dengan pakan buatan dengan dosis 2
gr/kg pakan (Nur dan Kontara, 2001), dan
diikat dengan atractant (minyak cumi-cumi). Feed additive ini diberikan secara
periodik selama 3 hari secara berturut-turut dalam satu minggu. Feed additive diberikan secara kontinyu
apabila terjadi penurunan nafsu makan (Ariawan, 2005).
Tabel 1. Dosis dan frekuensi
pemberian pakan berdasarkan berat udang.
No.
|
Dosis (%)
|
Berat udang (gr)
|
Frekuensi
|
Bentuk
|
1
|
20-10
|
0.1-2
|
2
|
Fine crumble
|
2
|
6-4
|
2-4
|
2-3
|
Coarse crumble
|
3
|
4-2
|
4-10
|
3-4
|
Pellet
|
4
|
4-2
|
10-20
|
4-5
|
Pellet
|
Selama pemeliharaan juga dilakukan pengelolaan air
yang tergantung dari fluktuasi parameter air seperti bahan organik, amoniak,
nitrit, oksigen terlarut, pH dan plankton.
Kegiatan yang dilakukan dalam manajemen air meliputi pergantian air,
pengapuran, pengenceran air serta aplikasi ikan biofilter dan
bioscreening.
3.5. Pemanenan
Panen dilakukan setelah udang mencapai
ukuran rata-rata 10 gram/ekor atau berumur sekitar 60 hari dalam tambak. Bahan dan alat yang digunakan dalam
pemanenen adalah jaring kantong dan jala tebar.
Untuk mengurangi kerusakan atau resiko kemunduran mutu udang maka panen
dilakukan pada malam hari atau suhu rendah.
Parameter yang diamati
Data utama yang diamati dalam kegiatan ini
adalah data pertumbuhan berat dan
sintasan. Sedangkan data penunjangnya
adalah suhu, salinitas, pH dan kecerahan yang diamati harian.Sedangkan bahan
organik, amoniak, nitrat, nitrit, pospat, alkalinitas air diamati seminggu
sekali bersamaan dengan pengamatan plankton. Bahan organik, redoks potensial
dan pH tanah diamati seminggu sekali.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pertumbuhan dan sintasan
Pertumbuhan berat dan
sintasan udang selama pemeliharaan di tambak dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Grafik 1.
Tabel 1. Pertumbuhan berat dan sintasan udang vannamei di tambak
Sampling
|
Umur
|
Pertumbuhan berat (gram)
|
Perkiraan populasi (%)
|
1
2
3
4
|
30
40
50
60
|
3,80
5,32
6,73
8,97
|
97
95
95
93
|
Grafik 1.
Pertumbuhan udang vannamei di tambak teknologi sederhana
Dari Tabel 1 dan
Grafik 1 terlihat bahwa pertumbuhan berat udang vannamei di tambak dengan
teknologi sederhana dapat dinyatakan relatif cepat. Apabila dibandingkan dengan
laju pertumbuhan berat udang windu yang dipelihara secara intensif atau semi
intensif maka pertumbuhan vannamei tersebut masih lebih cepat. Bukti ini
diperkuat oleh pernyataan Chamberlain
(2003) dalam Briggs (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan berat udang windu cenderung menurun dalam lima tahun terahir ini dari 1,2 – 1,0 gram/minggu. Sementara
itu, dari hasil kajian BBPBAP Jepara, pertumbuhan berat rata-rata udang windu,
terutama pada budidaya intensif dan semi intensif di beberapa daerah
Indonesia, hingga umur 60 hari di tambak sekitar 5,0 -
7,0 gram/ekor (Supito, 2005).
Sintasan yang dicapai hingga hari ke 60 juga masih sangat tinggi yaitu
93%. Hal ini sangat logis karena masa pemeliharaan udang masih pendek sehingga
kandungan sisa pakan, feces dan senyawa-senyawa beracun masih rendah. Oleh
karena itu lingkungan tambak, baik
kualitas tanah maupun air, masih sangat mendukung untuk kelangsungan hidup
udang.
3.2. Kondisi udang
Kondisi udang selama
pemeliharaan 60 hari dapat dinyatakan dalam kondisi yang sehat dan bagus. Hal
ini ditandai dengan kondisi tubuh bagian luar udang yang bersih, anggota tubuh
masih lengkap serta udang responsif terhadap pakan dan responsif terhadap
adanya rangsangan dari luar.
3.3. Kualitas air dan tanah
Data hasil pengukuran
parameter kualitas air tambak selama pemeliharaan udang vannamei dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran
parameter kualitas air selama pemeliharaan udang vannamei
Tambak
|
Suhu (oC)
|
DO (ppm)
|
pH
|
Salinitas
(ppt)
|
Alkalinitas (ppm)
|
Bahan Organik (ppm)
|
Ammonia
(ppm)
|
U1
|
28,9 – 29,3
|
2,47 – 4,02
|
8,0 – 8,1
|
32 – 37
|
104,88 – 124,44
|
51,03 – 130,89
|
0,005 – 0,015
|
Dari tabel kisaran
kualitas air tambak dapat dinyatakan bahwa parameter-parameter kualitas air
tersebut masih dalam kisaran normal, kecuali untuk parameter salinitas (32 -37
ppt) dan kandungan oksigen terlarut
(DO), khususnya pada malam atau dini hari yang kurang dari kisaran optimal
(2,47- 4,02).
Salinitas yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan
udang sedikit terhambat. Sesuai dengan pendapat Wyban and Sweeny, (1991) dalam
Briggs (2004) yang menyatakan bahwa
udang vannamei dapat hidup pada salinitas 0,5 – 45,0 ppt, namun akan
tumbuh dengan baik pada salinitas 10 – 15 ppt.
Kandungan oksigen yang rendah terjadi pada pagi
hari dan cenderung terjadi setelah udang berumur di atas 40 hari. Kelarutan oksigen dalam air yang rendah ini
mengakibatkan pertumbuhan udang kurang optimal. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Boyd (1996) yang menyatakan bahwa udang dan ikan pada umumnya akan
hidup dan tumbuh dengan baik pada kandungan
oksigen terlarut di atas 3,0 ppm.
Hasil pengamatan dan analisa kualitas tanah pada saat pemeliharaan udang
hingga panen dan setelah panen dapat dinyatakan bahwa tanah tambak masih dalam
kondisi yang baik. Hal ini ditandai dari hasil analisa bahan organik tanah
tambak yang menunjukkan kisaran bahan organik sekitar 10 – 13% dan pH tanah
sekitar 6,8 – 7,3. .
Dari hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa
setelah udang dipanen, tanah dasar
tambak dan caren tidak banyak mengandung
lumpur. Tanah dasar tambak dan caren dapat dinyatakan cukup bersih. Dengan
bahan organik dan pH tanah yang normal dan tanah dasar tambak relatif tidak
berlumpur maka hanya dengan persiapan tambak yang sedikit saja, tambak dapat segera ditebari benur kembali.
3.4. Analisa Usaha
Analisa
usaha secara sederhana untuk mengetahui komponen dan jumlah biaya yang
diperlukan , panen dan pendapatan, serta
dan keuntungan dari usaha budidaya udang
vannamei sistem ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komponen biaya dan
pendapatan dari hasil budidaya vannamei sederhana
Kompenen biaya
|
Satuan
|
Harga satuan (Rp)
|
Jumlah (Rp)
|
Persiapan lahan
Peralatan
Benih
Pakan
Pupuk
Energi (solar)
Biaya panen
Tenaga kerja
|
10 OH
1 unit
50.000 ekor
250 kg
100 kg
240 lt
1 paket
2 orang
|
30.000
150.000
25
4380
1650
4150
500.000
1.000.000
|
300.000
150.000
1.250.000
1.248.300
165.000
996.000
500.000
2.000.000
|
T o t a l B i a y a
|
6.861.000
|
Panen
|
385 kg
|
22.500
|
8.662.500
|
Keuntungan : Rp.
8.662.500 – 6.861.000
|
1.801.500
|
Dari Tabel 3 terlihat bahwa melalui budidaya vannamei dengan menerapkan teknologi
sederhana dapat diperoleh keuntungan Rp. 1.801.500/MT/7000 m2. Atau apabila
dikonversikan dalam satu hektar maka diperoleh keuntungan Rp 2.571.428/Ha/MT.
Keuntungan senilai tersebut bagi para pembudidaya
menengah ke bawah dinilai cukup mengesankan. Di samping modal yang dibutuhkan
sedikit, teknologi ini juga memiliki keuntungan lain yaitu pembudidaya
memiliki jaminan kepastian
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi karena masa pemeliharaan yang pendek (2
bulan), dan masa tanam lebih banyak
dalam satu tahun (4 kali pemeliharaan dalam setahun).
.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari hasil perekayasaan ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan, yaitu:
·
Panen
udang vannamei yang diperoleh dari teknologi ini adalah 385 kg atau 550
kg/Ha dalam masa pemeliharaan 60 hari.
·
Dengan
analisa usaha sederhana didapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 1.800.000,-
atau Rp 2.571.428/Ha/MT.
·
Karena
kepadatan yang rendah dan masa pemeliharaan yang pendek, maka budidaya dengan
sistem ini relatif aman terhadap kemunduran kualitas tambak dan lingkungannya
dan lebih menjamin kelanggengan berusaha..
·
Budidaya
udang vannamei dengan siklus pemeliharaan yang pendek ini, (60 hari), sangat
potensial diterapkan oleh pembudidaya udang, khususnya kelas menengah ke bawah,
karena memiliki beberapa keuntungan atau kelebihan, seperti modal sedikit, dan jaminan
keberhasilan lebih tingi.
4.2. Saran
Berdasarkan
hasil perekayasaan ini dapat diajukan beberapa saran, yaitu:
·
Budidaya
udang vannamei teknologi sederhana
dengan masa pemeliharaan yang lebih pendek seyogyanya menjadi salah satu alternatif
jawaban bagi pembudidaya, khususnya kelas menengah ke bawah, untuk dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya.
·
Budidaya
sistem ini juga perlu digalakkan di
kalangan pembudidaya udang, khususnya di kawasan tambak yang riskan untuk
dilakukan budidaya udang dengan teknologi intensif maupun semi intensif
·
Diharapkan
melalui penggalakkan budidaya udang
vannamei sistem ini, masyarakat pembudidaya udang dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan
produksi udang nasional.
DAFTAR PUSTAKA
.
Ariawan, K., dkk.,
2005. Peningkatan produksi udang merguiensis melalui optimasi dan pengaturan
oksigen. Laporan Tahunan. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.
Boyd, C.E., 1989. Water Quality Management dan Aeration in
Shrimp Farming. Fisheries and Allied Aquacultures Departement
Series No. 2. Alabama Agramicultural
Experiment Station. Auburn University, Alabama.
Boyd,
C.E. 1996. Water quality in pond for
aquaculture. Auburn University. Alabama.
Briggs
M., Simon F.S., R. Subasinghe, and M. Phillips. 2004. Introduction and movement
of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and the Pacific. FAO-UN. Bangkok.
Nur, N. dan Kontara E. 2001. Penggunaan immunostimulan dan
vitamin untuk meningkatkan ketahanan udang dan ikan terhadap serangan penyakit.
BBPBAP. Jepara
Supito, Z. Arifin, dan D.
Adiwijaya. 2006. Pengendalian lingkungan tambak udang melalui pengaturan
keseimbangan C/N rasio dengan penambahan sumber karbon. (tidak dipublikasikan).
Supito, A. Taslihan, dan E.
Sutikno. 2005. Penerapan Best Management Practices Pada Tingkat Petambak.
BBPBAP. Jepara
Sumber: KKP