INFO PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN(PDPI) dari KKP [13-15 September 2013 ] : DPI Jawa Bali dan Nusa Tenggara : DPI (122’34’’21.9’’’BT, 9’12’’3.1’’’LS) Potensi (111’18’’54.2’’’BT, 8’46’’7.7’’’LS) (112’4’’59.4’’’BT, 8’27’’50.7’’’LS) (115’28’’3.7’’’, 9’7’’43.9’’’LS) (115’26’’37.2’’’BT, 9’26’’27.2’’’LS) (107’17’’23.2’’’BT, 8’0’’2.5’’’LS) DPI Kalimantan : -- DPI Maluku Papua : -- DPI Sumatera : Potensi (104’55’’48.3’’’BT, 6’27’’52.0’’’LS) DPI Sulawesi : Potensi (118’43’’55.8’’’BT, 1’45’’35.1’’’LS)

Saturday, July 6, 2013

Teknologi Modifikasi Cuaca





UU RI No. 7 Thn 2004 Sumber Daya Air , Pasal 38, ayat 1 : “Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c dilaksanakan dengan mengembangkan Teknologi Modifikasi Cuaca. (3 ayat di Pasal 38 tentang TMC).

Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia

Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya.

Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand.

Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPT yang bernama Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan PLTA.

TMC Dapat Menambah Curah Hujan 

Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl).
Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus: Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea.
Berikut adalah animasi yang menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan yang tidak disemai dengan awan yang disemai :

Sekuens awan tidak disemai
5 menit : Kumulus mulai tumbuh.
10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
15 Menit : Tetes besar semakin banyak dan mulai terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi maksimum
20 menit : Kristal-kristal semakin besar, tetes air di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh dan mencair menjadi tetes air hujan.
30 menit : Hujan ringan berlangsung dan awan membuyar.

Sekuens awan yang disemai
5 menit : Kumulus mulai tumbuh.
10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
15 menit : Sejumlah bahan semai yang terkonsentrasi dimasukan ke dalam awan dari dasar awan maupun dari puncak awan.
20 menit : Terjadi pelepasan panas laten ketika air supercooled membeku menjadi es dan awan tumbuh menjadi sangat besar.
30 menit : Jumlah air yang terlibat di dalam awan semakin besar sehingga curah hujan meningkat.

Sumber: BPPT
              bumn.go.id



No comments:

Post a Comment