INFO PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN(PDPI) dari KKP [13-15 September 2013 ] : DPI Jawa Bali dan Nusa Tenggara : DPI (122’34’’21.9’’’BT, 9’12’’3.1’’’LS) Potensi (111’18’’54.2’’’BT, 8’46’’7.7’’’LS) (112’4’’59.4’’’BT, 8’27’’50.7’’’LS) (115’28’’3.7’’’, 9’7’’43.9’’’LS) (115’26’’37.2’’’BT, 9’26’’27.2’’’LS) (107’17’’23.2’’’BT, 8’0’’2.5’’’LS) DPI Kalimantan : -- DPI Maluku Papua : -- DPI Sumatera : Potensi (104’55’’48.3’’’BT, 6’27’’52.0’’’LS) DPI Sulawesi : Potensi (118’43’’55.8’’’BT, 1’45’’35.1’’’LS)

Saturday, July 30, 2011

ALAT AKUSTIK DAN NAVIGASI DI KAPAL NELAYAN

 
ALAT AKUSTIK DAN NAVIGASI DI  KAPAL NELAYAN

Dalam setiap kapal operasi penangkapan ikan di laut diperlukan adanya peralatan dan tenaga ahli yang dapat mendukung proses penangkapan ikan, baik itu dari kerjasama tim antara seorang nahkoda dengan anak buah kapal(ABK) maupun dari kelengkapan peralatan yang dapat menunjang ketepatan dan keefesienan proses penangkapan.
Secara umum keberhasilan dalam proses penangkapan ikan di laut tidak hanya ditentukan oleh sekedar unit penangkapannya( nelayan, kapal, dan alat tangkap) tetapi dibutuhkan juga peralatan pendukung lainnya, seperti GPS dan Fishfinder  yang membantu nelayan untuk lebih hemat dan tepat dalam menentukan daerah penangkapan yang sesuai, tanpa harus berkeliling membuang-buang bahan bakar. Selain itu kerja sama dari pihak pemerintah juga sangat penting dalam memberikan informasi berupa kecepatan arus dan angin, estimasi koordinat daerah penangkapan ikan hasil pengolahan dari teknologi penginderaan jarak jauh(Satelite Remote Sensing), dan informasi lainnya yang dapat mendukung proses operasi penangkapan ikan agar berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, pengadaan alat bantu sangat penting bagi nelayan selain dari alat tangkap itu sendiri, yaitu seperti GPS(Global Positioning System) untuk navigasi, alat akustik penentu posisi dan kedalaman perairan(Fishfinder), alat komunikasi seperti Radio komunikasi(SSB atau single side band), dan pengukur keadaan air seperti suhu, salinitas, klorofil, dll. Kendalanya alat bantu tersebut tidak semua nelayan dapat memiliki karena harga dari alat itu sendiri yang mahal. Biasanya kapal nelayan untuk ukuran kurang lebih 10 GT(Gross Ton) mereka hanya menggunakan kompas dan untuk penentuan DPI-nya mereka masih memakai cara tradisional atau dengan menebak menggunakan insting sehingga hasil yang didapat juga tidak memuaskan. Sedangkan untuk kapal tangkap ikan yang berukuran + 20 GT keatas biasanya alat bantu mereka sudah lengkap sehingga hasil yang mereka peroleh juga optimal dan lebih efesien dalam waktu dan biaya.

Gambar 1. Alat Navigasi GPS Furuno oleh nelayan Karangsong, Indramayu

Gambar 2. Radio komunikasi SSB(Single Side Band) oleh nelayan Karangsong, Indramayu


PENENTUAN FISHING GROUND TUNA DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Sumberdaya Ikan Tuna( Thunnus sp.)
Tuna adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol(schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km per jam. Kemampuan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis yang cukup luas), termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya.
Jenis tuna menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenis tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur tetapi dipengaruhi oleh garis lintang. Di samudera Hindia dan Atlantik menyebar di antara 400 LU  dan 400 LS (Collete dan Nauen, 1983). Khususnya di Indonesia (Uktolseja et al., 1991), tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar.
Distribusi ikan tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis(genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku(behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Kedalaman renang tuna bervariasi tergantung dari jenisnya. Umumnya tuna dapat tertangkap di kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang disukai berkisar antara 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17 -31 o C.
Madidihang ( Thunnus Albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang Madidihang bisa sampai 2 meter (Uktolseja et al., 1991). Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu berkisar antara 17-310 C dengan suhu optimum berkisar antara 19-230 C (Nontji, 1987), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20-280 C (Uda, 1952 vide Laevastu dan Hela, 1970).
Tuna mata besar (Thunnus obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulau-pulau di Indonesia  sampai di Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan sebelah selatan jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan laut Maluku. Menurut Uda (1952) dalam Laevastu dan Hela (1970), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11-280 C dengan kisaran suhu penangkapan antara 18-230 C.
Sebaran tuna Albakora(Thunnus Alalunga) sangat dipengaruhi oleh suhu. Jenis ini menyenangi suhu yang lebih rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif kecil dibanding dengan dua jenis tuna di atas. Tuna sirip biru(Thunnus maccoyi) didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan. Oleh karena itu jenis ini sering disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.
1.2. Penentuan Fishing Ground Tuna
Penentuan daerah penangkapan ikan tuna menggunakan data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika, kimia, dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air(up-welling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di suatu perairan. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan  atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schooling) ikan tuna berdasarkan koordinat lintang dan bujur.
Satelit NOAA merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. Sensor utama satelit NOAA adalah AVHRR(Advance Very High Resolution Radiometer) untuk pengamatan lingkungan dan cuaca yang dapat memberi informasi kelautan, seperti suhu permukaan laut yang berguna dalam mendeteksi keberadaan ikan( Hasyim, 1993). Sedangkan data yang diperoleh dari SeaWiFs adalah data klorofil atau zat hijau daun. Data ini digunakan untuk mendeteksi front yang dapat dijadikan indikasi bahwa daerah tersebut diduga tempat berkumpulnya ikan tuna. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan mendeteksi lokasi yang banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau saja (Hasyim, 1993).
Sugimoto dan Tameishi (1992) melakukan penelitian tentang daerah penangkapan ikan tuna menyatakan bahwa massa air hangat yang bertemu dengan massa angin dingin yang dibawa arus menjadi perangkap dengan suhu 22-23 0 C. Ikan tuna sirip biru (bluefin tuna) dan madidihang (yellowfin tuna) memanfaatkan cicin air hangat dengan suhu sekitar 19 0 C dalam ruayanya. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna sangat penting untuk menginterpretasikan citra satelit yang digunakan dalam pembuatan sebuah peta fishing ground tuna.
Penetuan posisi dapat dilihat dari terjadinya front dan upwelling. Front yaitu pertemuan antara dua massa air yang mempunyai karakteristik yang berbeda, baik temperatur maupun salinitas. Seperti pertemuan antara massa air laut jawa yang lebih panas dengan massa air dari Samudera Hindia yang lebih dingin. Front yang terbentuk mempunyai produktivitas karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan feeding ground bagi jenis ikan pelagis, selain itu pertemuan massa air yang berbeda merupakan perangkap bagi migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar, hal ini menyebabkan daerah front merupakan fishing ground yang baik. Sedangkan upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993).

                                                              DAFTAR PUSTAKA
Collette, B. B., dan C. E. Nauen.1983. Scmrids of the world. FAO Fish Syn. 2(125), 137p.
Harsanugraha WK dan Ety Parwati. 1996. Aplikasi Model-Model Estimasi Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Data NOAA-AVHRR. Warta Inderaja Vol VIII. No.2 : P23-35.
Hasyim B, Chandra E. Adi. 1999. Analisis Pola Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Utara Pulau Bali. Majalah LAPAN No.01Vol 01 p 1-8.
Hela, I., dan T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News(Books)LTD. London.
Narain A. 1993. Remote Sensing and Fisheries Exploration : Case studies. In International Workshop on Aplication of Satelite Remote Sensing for Identifying and Foresting Potential Fishing Zone in Developing Counteries. Hyderabad, India. p. 1-24.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Sugimoto, T. and H. Tameishi. 1992. Warm core rings, Streamers and Their Role on The Fishing Ground Formation Around Japan. Deep Sea Res. 39 (Suppli. 1) : S183-S201.
Uktolseja, J. C. B. 1987. Estimated Growth Parameters and Migration of Skipjack Tuna-Katsuwonus pelamis In The Easthern Indonesia Water Through Tagging Experiments. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal 15-44.
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. 195 p.

Saturday, May 21, 2011

Pengetahuan Umum

Tau Gak...@  Kenapa Burung Dapat Mengalahkan Pesawat Terbang....?

  Ancaman yang paling utama pada kasus bird strike adalah pada pesawat jet. Maksud pesawat jet di sini adalah pesawat yang menggunakan mesin turbojet ataupun jet (ramjet, dll) pada umumnya. Tidak seperti mobil yang mesinnya tertutup rapi, pada pesawat jet, bagian depan mesin pesawat terbuka yang berguna untuk menyedot udara masuk dan digunakan untuk pembakaran. Benda-benda yang tidak diinginkan bisa tersedot dan merusak bagian dalam mesin pesawat. Benda-benda ini disebut FOD (Foreign Object Damage).

   Di darat, ancaman juga datang dari benda-benda yang ada di sekitar mesin jet pada waktu mesin dinyalakan. Dengan kekuatannya, bahkan mesin jet bisa menyedot manusia ataupun kendaraan ringan. Sebuah mesin turbojet General Electric CF6-80E1A2 yang terpasang pada sebuah Airbus A330 dapat menghasilkan gaya sebesar 286.7 kN (64,000 lb atau sekitar 30 ton). Kedua mesinnya bisa mendorong pesawat A330 dengan berat 233 ton untuk terbang.

   Jika ada benda yang merusak sebuah bilah (blade) turbin mesin jet, maka pecahan bilahnya bisa melesat ke bilah yang lain dan seterusnya masuk kedalam dan merusak keseluruhan mesin. Pada waktu pesawat lepas landas bahaya yang mengancam sangat besar karena putaran bilah turbin ini dapat mencapai maksimum dan pesawat masih berada pada ketinggian rendah di mana banyak terdapat burung. 


Benda yang tersedot oleh engine pesawat pada saat berada di darat


   Sedangkan di udara, bagian depan mesin yang terbuka (intake), menelan apa saja yang dilewati termasuk es/salju, air hujan, burung besar atau kecil. Benda / burung yang masuk ke dalam mesin jet ini bisa merusak bilah-bilah turbin dan membuat mesin berhenti bekerja atau bahkan terbakar karena pembakaran yang terjadi tidak terbuang keluar dari belakang mesin.
   Bahkan jika FOD yang masuk ke mesin menjadi hancur terkena bilah mesin dan tidak merusak bilah tersebut, aliran udara yang masuk bisa terganggu dan bisa menyebabkan mesin jet menjadi stall.

Bagian depan mesin jet yang terbuka lebar rentan di masuki burung



Bilah jet JT 8D yang rusak karena burung


Berikut adalah link untuk video dari youtube yang memperlihatkan mesin turbojet yang stall setelah menabrak burung pada waktu lepas landas :
http://www.youtube.com/watch?v=9KhZwsYtNDE
http://www.youtube.com/watch?v=u4OJ_dJB6jQ


   Bahaya yang lain lagi adalah, jika burung tersebut menabrak kaca depan / windshield. Dengan momentum yang tinggi, kaca depan pesawat dapat pecah dan melukai penerbangnya. Pada kasus kecelakaan yang disebutkan di atas, kawanan burung menabrak mesin dan kaca depan.
   Gaya impak dari tabrakan antara pesawat dengan burung bergantung pada kecepatan impak tersebut. Energi dari seekor burung seberat 5 kg yang bergerak relatif terhadap pesawat dengan kecepatan 275 km/jam kira-kira sama dengan energi 1 ton benda yang dijatuhkan dari ketinggian 3 meter.

Kerusakan windshield akibat burung



Kerusakan pada bagian wing
 
 
Kecelakaan fatal karena bird strike pertama kali dilaporkan pada tahun 1912 dimana  seorang penerbang perintis Cal Rodgers bertabrakan dengan burung camar yang menyangkut di kabel kendali pesawatnya.  Kemudian dia jatuh di Long Beach California dan ditemukan tenggelam di bawah pesawatnya.

   Kecelakaan fatal terbesar terjadi pada 4 Oktober 1960, ketika Eastern Air Lines Flight 375, sebuah Lockheed L-188 Electra terbang dari Boston melalui sekawanan burung yang merusak seluruh 4 mesinnya. Pesawat langsung crashed sesaat setelah lepas landas dengan 62 orang meninggal dari total 72 orang di pesawat.
Sumber: http://panggih15.multiply.com/journal/item/48

Kenapa Nelayan Tidak Melaut Ketika Bulan Purnama



Bulan  purnama nelayan jarang atau tidak melaut karena terkait hasil tangkapannya yang kecil atau dapat dikatakan "sepi". Hal ini terkait dengan migrasi ikan, ikan laut  tipe nokturnal (aktif mencari makan malam hari) yang cenderung bermigrasi secara diurnal(migrasi berdasarkan perubahan siang dan malam) akan cenderung berada di perairan yang lebih dalam untuk menghindari cahaya terang bulan(fototaksis negatif) untuk menjauh dari predatornya. Sehingga nelayan akan kesulitan menemukan ikan atau gerombolan ikan di daerah dekat permukaan yang dapat dijangkau oleh jaring atau alat tangkap mereka. Jenis ikan laut yang pelagis(seperti ikan kembung, cakalang, tengiri, tongkol, dll) akan cenderung mengikuti kelompok mereka dalam mencari makan atau untuk memudahkan dalam menghindar dari predatornya (bergerombol atau Schooling), sedangkan ikan demersal( seperti pari, cucut, kerapu dll) lebih bersifat soliter atau sendiri-sendiri. 

Solusinya, diperlukan alat tangkap yang lebih modern atau yang dirancang khusus untuk perairan dalam dan nelayan perlu alat bantu seperti fish finder dan map sounder untuk mempermudah dalam penentuan gerombolan ikan, tetapi kendalanya alat-alat tersebut relatif mahal untuk dibeli oleh nelayan kecil, akibatnya banyak nelayan kecil yang tidak melaut atau "Nganggur". Oleh karena itu, diperlukan inisiatif pemerintah dalam membantu nelayan kecil agar tetap dapat melaut atau diberikan keterampilan pada nelayan untuk mengisi waktunya dalam menghasilkan pendapatan untuk hidup sambil menunggu waktu untuk siap melaut.  


Fenomena Atmosfer


Langit hanya berwarna biru di siang hari.
Beberapa sebab mengapa langit saat itu berwarna biru. Bumi diselubungi lapisan udara yang disebut atmosfir. Walaupun tidak tampak, udara sebenarnya terdiri atas partikel-partikel kecil(seperti aerosol, gas dll).

Cahaya dari matahari dihamburkan oleh partikel-partikel kecil dalam atmosfir itu. Tetapi kita tahu, cahaya dari matahari terdiri dari paduan semua warna, dari merah, kuning, hijau, biru, hingga ungu. Warna-warna itu memiliki frekuensi yang berbeda. Merah memiliki frekuensi yang lebih kecil dari kuning, kuning lebih kecil dari hijau, hijau lebih kecil dari biru, biru lebih kecil dari ungu. Semakin besar frekuensi cahaya, semakin kuat cahaya itu dihamburkan.

Warna langit adalah sebagian cahaya matahari yang dihamburkan. Karena yang paling banyak dihamburkan adalah warna berfrekuensi tinggi (hijau, biru, dan ungu), maka langit memiliki campuran warna-warna itu, yang kalau dipadukan menjadi biru terang.

Karena warna biru banyak dihamburkan, maka warna matahari tidak putih sempurna, seperti yang seharusnya terjadi jika semua warna dipadukan. Warna matahari menjadi sedikit agak jingga.

KALO LANGIT HITAM DAN MATAHARI YANG PUTIH?

Di bumi, matahari warnyanya kuning. He he he kalo lagi iseng, katanya bila dilihat dari bulan atau dari angkasa, maka matahari akan terlihat putih. Di angkasa, tidak ada atmosfer kan yang akan menyebarkan cahaya matahari sedangkan di bumi, cahaya dengan panjang gelombang pendek (biru dan violet) akan pindah dari jalurnya karena disebar oleh atmosfer. Bila biru dan violet dicampur akan jadi warna kuning…nah makanya jadi kuning deh warna matahari.

Begitu juga dengan bila langit berwarna hitam, ini berarti cahaya biru tidak mengalami penyebaran karena memang tidak ada atmosfer.

TRUS KALO SUNSET KOK MERAH YA?

Karena matahari mulai tenggelam, cahayanya ketika meraih kita akan lebih panjang kan. Sama dengan tadi, cahaya tadi ada yang dipantulkan dan ada yang disebar. Namun hanya cahaya dengan panjang gelombang pendek yang duluan sampai kekita.

Bila udara mengandung banyak partikel kecil debu dan air, maka partikel akan memantulkan cahaya kesegala arah, kemudian karena yang lebih banyak dipantulkan adalah yang panjang gelombang lebih panjang, maka akan terlihat merah, pink atau orange.

ATMOSFER

Katanya….atmosfer itu adalah campuran molekul gas dan material lain yang ada di sekitar bumi. Hmm…yang paling banyak itu adalah gas Nitrogen (78%), dan oksigen (21%). Sedangkan komponen lainnya adalah gas Argon dan air dalam bentuk uap, droplet dan kristal es dan sejumlah kecil padatan dan gas lain.

Komposisi dari atmosfer bervariasi lho..itu semua tergantung dari lokasi, cuaca, dan banyak hal lainnya. Kemungkinan di daerah dekat laut atau setelah hujan lebat akan banyak air di atmosfer, atau gunung berapi akan menyumbang partikel debu yang banyak ke atmosfer, dan tentu saja polusi akan memberikan gas lainnya.

Atmosfer tebal pada bagian bawahnya yang dekat dengan bumi dan secara berangsur-angsur menipis ke atasnya. Tidak ada perubahan yang ekstrim antara atmosfer dan angkasa.

GELOMBANG CAHAYA

Cahaya adalah jenis energi yang beradiasi, berpindah, dalam bentuk gelombang. Banyak jenis energi yang berpindah dalam bentuk gelombang contohnya pas kita SMP kita belajar bunyi merupakan gelombang dari udara yang bergetar.

Cahaya adalah gelombang dari magnetik dan listrik yang bergetar, bagian kecil dari elektromegnetik yang bergetar. Range ini disebut sebagai spektrum elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik bergerak melalui angkasa dengan kecepatan cahaya 299,792 km/detik (186,282 mil/detik).

Energi dari radiasi bergantung dari panjang gelombang dan frekuensi. Panjang gelombang itu adalah jarak antara puncak gelombang dan frekuensi adalah jumlah gelombang yang lewat tiap ******* Semakin panjang panjang gelombang amaka energi dan frekuensi akan semakin kecil

WARNA CAHAYA

Cahaya tampak adalah bagian dari spektrum elektromagnetik yang bisa mata kita bisa lihat. Cahaya dari matahari bisa aja kan terlihat putih, tapi sebenarnya banyak warna. Kita bisa lihat warna-warnanya dengan menggunakan prisma (pernah kan melakukan percobaan ini pas SMP) atau kita bisa lihat warna-warnanya pada pelangi (hmmm udah lama juga ya gak lihat pelangi).

Warna-warna itu bercampur secara berkelanjutan satu dengan yang lain merah-orange-kuning-hijau-biru-indigo-dan violet. Setiap warna punya panjang gelombang, frekuensi, dan energi yang berbeda. Nah violet punya panjang gelombang terpendek yang artinya punya energi dan frekuensi tertinggi sedangkan merah punya panjang gelombang yang terpanjang sehingga punya frekuensi dan energi terendah.

CAHAYA DI UDARA

Cahaya itu bergerak di atmosfer dengan garis lurus sampai ada halangan (seperti debu atau molekul gas). Nah hal yang akan terjadi setelah tumbukan itu akan bergantung kepada panjang gelombang dan ukuran penghalangnya.

Partikel debu dan droplet air lebih gede dari panjang gelombang cahaya tampak, ketika cahaya bertumbukan dengan ini, maka cahaya akan dipantulkan pada arah yang berbeda. Warna-warna yang beda tadi dipantulkan oleh partikel dengan cara yang sama. Cahaya yang dipatulkan akan terlihat putih karena mengandung semua warna yang sama.

Namun bila cahaya menabrak partikel yang lebih kecil, makan sebagian cahaya akan diserap dan setelah itu molekul akan meradiasikan cahaya pada arah yang berbeda. Cahaya yang diradiasikan adalah cahaya yang diserap. Setiap warna akan berbeda efeknya. Semua warna bisa diserap, namun warna dengan frekuensi lebih tinggi (biru) akan diserap lebih dari pada yang frekuensi rendah (merah). Nah peristiwa ini disebut Rayleigh scattering. Lord John Rayleigh adalah fisikawan Inggris yang mendeskripsikan ini pada tahun 1870 an

KELIMPAHAN FORAMINIFERA RESEN PADA SEDIMEN PERMUKAAN DI TELUK AMBON THE ABUNDANCE OF RECENT FORAMINIFERA IN SURFACE SEDIMENT OF AMBON BAY