PERANAN IMTAQ DAN IPTEK DALAM
MEMBANGUN PERADABAN INDONESIA MADANI
|
|
Pekanbaru, 15 Januari 2011
|
|
Disampaikan pada acara Kajian
membaca Ayat-ayat Kauniyah,
Mejelis Pengurus Wilayah ICMI Orwil Riau Bismillaahirrrahmaanirrahiim Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh "Innallaha la yughayyiru maa biqawmin, hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim”, ”Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum,sampai kaum itu merubahnya sendiri” (Qs.Ar-Ra’du:11)
Segala puja dan puji bagi Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala rahasia
kehidupan, Yang Maha Mengatur lakon kehidupan yang dipentaskan oleh
hamba-hamba-Nya di Bumi yang dihamparkan-Nya, Yang Maha Mencerahkan kalbu
manusia, sehingga mereka menjadi khalifah dan hamba-Nya yang saleh,
Yang Memutar roda perputaran bumi dan zaman, kebangkitan dan kehancuran
bangsa, serta mengantarkan kecemerlangan peradaban manusia atau
menghancurkannya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah untuk
Baginda Rasulullah SAW, yang melalui ajarannya muncul manusia-manusia langka
pilihan yang menjadi aktor pembangunan umat manusia.
1. PENDAHULUAN: KETERPADUAN AYAT KAULIYAH DAN KAUNIYAH
Para ilmuwan Muslim memimpikan
pupusnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris.
Sebab, tradisi Eropa yang telah memisahkan sains dari agama—yang sebelumnya
padu di tangan saintis Muslim di Abad Pertengahan—adalah alasan utama untuk
itu.
Setelah empirisme yang dimulai
oleh Roger Bacon dan Robert Grosseteste dari Oxford menjadi ikon kuat di
Eropa pada awal abad ke-12 kemudian menjadi lebih populer di tangan Francis
Bacon melalui karyanya yang terkenal Novum Organum dan New Atlantis—yang
tidak lain diilhami tradisi ilmiah Islam—, maka genderang revolusi ilmiah dan
spesialisasi ilmu menjadi trend ilmiah. Setelah itu yang terjadi adalah
pemisahan antara ilmu-ilmu alam—yang berbasis metode eksperimental—dengan
filsafat alam, yang berbasis metode rasional-spekulatif. Dinding-dinding
antar disiplin ilmu pun makin tinggi dibangun, yang baru kemudian runtuh di
abad moderen ini, dengan berfusinya beberapa disiplin ilmu untuk membentuk
disiplin baru. Bersama pengalaman pahit inkuisisi agamawan Eropa atas
ilmuwan di abad tengah, maka ketegangan dan keterpisahan ilmu dan agama
semakin jauh.
Dua medan pertentangan ilmu-agama yang layak dicatat adalah masalah penciptaan dalam evolusi Darwin dan dalam kosmologi—khususnya teori Steady State Universe (Keith Wilks, 1982). Dengan evolusi biologisnya Darwin secara tidak langsung menolak penciptaan manusia sempurna melalui Adam dan Hawa. Sementara teori “jagad raya ajeg”—yang dipelopori Bondi, Gold dan Hoyle—berhipotesis bahwa ruang sebesar Stadion Utama Senayan di alam semesta mampu menciptakan satu inti atom hidrogen setiap 100 tahun. Alam kekal, karena ruang berkemampuan menciptakan materi dan galaksi, bukan sebab-sebab metafisis lainnya (Baca: Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT). Bahkan fisika secara umum, bergerak hanya pada penjelasan-penjelasan material dan menolak penjelasan metafisis, yang dikokohkan dengan hukum “kekekalan materi”.
Artinya, secara substansial antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris memang berbeda, dan sulit disatukan.
Secara ontologis obyek kajian ilmu-ilmu agama adalah risalah kenabian (ayat
kauliyah), sedang ilmu-ilmu empiris adalah manusia dan alam (ayat
kauniyah). Secara epistemologis, basis ilmu-ilmu agama adalah metode
tekstual, sementara untuk ilmu eksakta adalah metode
rasional-eksperimental. Hanya keyakinan bahwa sumber ilmu itu satu—baik
ayat kauliyah maupun ayat kauniyah—yang datangnya dari Allah SWT dan mesti
berujung pada pencerahan dan pengamalan sebagai bukti prilaku hamba yang
saleh (baca: ibadah), maka ilmu agama dan ilmu empiris mesti dipandang
sebagai suatu yang padu, tanpa pertentangan dan dikotomi.
Persoalan ini sebenarnya cukup
klasik. Teori “kebenaran ganda”, yang digaungkan Siger Brabant—tokoh
Averoisme latin—yang dianggap berasal dari Ibnu Rusyd, menyatakan bahwa
kesimpulan-kesimpulan akal budi murni dapat berbenturan dengan kebenaran
wahyu (W. Montgomery Watt,1995). Namun menurutnya, kedua kebenaran itu
harus diterima. Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah atau Al Qardhawi
dalam Al Qur’an dan As-sunnah Referensi Tertinggi Ummat Islam secara tegas
menolak teori kebenaran ganda semacam itu. Kebenaran wahyu yang
datangnya dari Allah SWT adalah kebenaran mutlak dan tertinggi, yang
mengatasi kebenaran kognitif yang relatif.
Dengan latar belakang ini, dapat
difahami harapan agar ilmuwan Muslim dapat menguasai dan menjelaskan ilmu
yang mereka kuasai dalam perspektif Islam, sehingga tidak terjadi split
personality.
Kajian membaca ayat-ayat Kauniyah, Mejelis Pengurus Wilayah ICMI Orwil Riau, memiliki spirit yang serupa. Saya menangkap kesan, bahwa forum ini akan berusaha membaca ulang ilmu-ilmu empiris (ayat-ayat kauniyah) dalam sinar keimanan, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam pemahaman kaum Muslimin atas hakekat ilmu, bahkan yang terjadi adalah sinergi dan daya dorong positif agama atas ilmu di satu sisi (bayan), dan penjelasan empiris ilmu atas pernyataan wahyu di sisi lain (burhan). 2. PERADABAN INDONESIA MADANI 2.1 Konteks Indonesia
Masyarakat Madani secara teoritis didefinisikan sebagai masyarakat
berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma,
hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap
terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
Secara operasional dalam konteks Indonesia, pengertian genuin di atas perlu dipadukan dengan fakta kondisional masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI. Pluralitas etnik dan ideologis masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke—yang melebihi panjang dari pantai barat sampai pantai timur Benua Amerika—adalah sebuah realita kebhinekaan yang nyata dan obyektif. Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa, sebagai benua maritim, paru-paru dunia, dengan biodiversitas yang berlimpah, sumber daya alam di darat maupun di laut, secara geografis dan demografis memperlihatkan fakta empiris kekayaan alam di samping pluralitas kekayaan budaya.
Karenanya masyarakat madani yang
kita citakan secara visional adalah sebangun dengan “Indonesia Baru” yang
kita inginkan sebagai sebuah kondisi ideal normatif yang menjadi harapan
masyarakat, bangsa dan negara. Arah pembangunan Indonesia yang kita citakan
adalah terbentuknya masyarakat yang menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai
landasan tata kehidupan mereka. Di dalamnya terisi dengan individu-individu
yang bebas dari sikap menzalimi diri sendiri. Berkumpul dalam keluarga yang
egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai
kebaikan dan keimanan. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat
dalam relasi yang proporsional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan
“amanah” penciptaan manusia. Hak-hak masyarakat terdistribusi secara
proporsional hingga terbangun kesederajatan sosial dan kehidupan yang
tenteram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat madani. Manusia Indonesia
hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam koridor hukum
dan agama, dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh. Di sana
tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur dan
mekanisme yudisial yang berkeadilan. Mereka berusaha dalam sistem ekonomi
egaliter, sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang memungkinkan
perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada seluruh rakyat
sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang yang memicu jurang
kesenjangan. Dimana pemanfaatan dan pengendalian ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) secara etis sebagai modal dasar pembangunan peradaban untuk
kesejahteraan manusia Indonesia dan kemandirian bangsa. Warna-warni kehidupan
mencerminkan pluralitas kebudayaan sebagai entitas yang berinteraksi secara
harmonis menuju kemajuan peradaban. Individu dan masyarakat mendapat
pendidikan yang integratif untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan
“amanah” penciptaannya menuju kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa.
Itulah masyarakat yang relijius,
yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong dalam
mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat yang
adil dan makmur, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu
masyarakat dan bangsa yang hidup berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa
lain di dunia, masyarakat dengan budaya takwa. Indonesia yang kita citakan
adalah kondisi masyarakat yang hidup penuh dengan kasih-sayang, yang muda
menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, laki-laki bahu membahu
dengan perempuan, dalam pluralitas kebudayaan. Sebuah taman sari
kehidupan kolektif kita, yang bermuara pada terjaminnya manusia dalam
memenuhi 5 (lima) kebutuhan primer hidupnya (maqosid syariah), yakni
perlindungan atas: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Masyarakat
adil, makmur, sejahtera dan bermartabat.
2.2 Strategi Transformasi
Strategi transformasi bangsa bagi
terwujudnya peradaban madani yang dicitakan di atas perlu dilakukan dalam
kombinasi dua aras antara perubahan yang bersifat bottom-up dengan top-down:
yakni melalui pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Pendekatan
kultural dilakukan oleh individu maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan,
yayasan/ormas dan berbagai lembaga/organisasi lainnya, melaksanakan
pelayanan, penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up melalui
pembangunan di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan hidup, kependudukan, kewanitaan, pengentasan kemiskinan, dan lain
sebagainya. Pendekatan struktural dilakukan oleh negara secara
komprehensif dalam lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan sektor-sektor
lain melalui mekanisme konstitusional dengan cara membangun sistem,
merumuskan kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural
dan top-down digunakan sebagai pedoman dalam rangka transformasi masyarakat
menuju peradaban madani. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi
dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Kalau pendekatan
kultural adalah “politik garam” (perlahan, bertahap dan tak terlihat namun
terasa asin), maka pendekatan struktural adalah “politik cabai” (eksplisit,
legal, imperatif dan tegas).
Dalam era partisipatif dan
demokratis sekarang ini tidak relevan lagi mendikotomikan kedua pendekatan di
atas. Pendekatan kultural dan pendekatan struktural sama-sama penting
dan wajib dilakukan. Kombinasi dan sinergi kedua pendekatan ini akan
mempercepat laju transformasi bangsa menuju peradaban masyarakat madani yang
kita citakan.
Mencermati strategi transformasi
bangsa di atas, maka ada urgensi, kestrategisan dan pentingnya peran Imtaq
dan Iptek dalam membangun peradaban Indonesia Madani.
3. PERANAN IMTAQ DAN IPTEK 3.1 Peran Imtaq
Dimana peran Imtaq dalam
pembangunan peradaban Indonesia Madani? Maka jawabnya sangat jelas pada
“jantung” peradaban itu sendiri. Alasannya sederhana, karena
Indonesia Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan
pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan;
menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong
menjaga kedaulatan negara. Kalau kita karakterisasi lebih lanjut, maka
pertama, unsur manusia menjadi obyek dan subyek. Kedua, ruh dari
peradaban madani adalah relijiusitas-keimanan. Ketiga, tujuannya adalah
kesejahteraan, keadilan, martabat dll. adalah nilai-nilai luhur yang
merupakan diferensiasi dari nilai keimanan. Dengan demikian domain
peradaban madani ekuivalen dengan domain Imtaq sendiri, karenanya peran Imtaq
menjadi urgen, strategis dan dominan dalam pembangunan peradaban Indonesia
Madani.
Pertama, karena membangun
peradaban madani ini bertumpu pada manusia sebagai obyek sekaligus subyek
(aktor), maka pembangunan manusia ini perlu dijalankan secara terpadu antara
sisi brain (aqliyah), mind (qolbiyah), dan body (jasadiyah). Pada titik
inilah pentingan Imtaq-spiritualitas-relijiusitas. Membangun kecerdasan
manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan kemajuan budaya menuju peradaban
madani atau dalam bahasa yang lebih operasional, menghapus kebodohan,
kekerasan sosial, dan keterbelakangan budaya”, sebab kita memandang kebodohan
(rendahnya kualitas pendidikan), kekerasan (hilangnya kesantunan dan kedamaian
dalam menyelesaikan segala bentuk konflik), serta keterbelakangan (kemandegan
dan kejumudan) sebagai musuh sosial bangsa memerlukan kecerdasan bukan hanya
dari sisi intelektual/rasional (IQ), namun juga mencakup sisi emosional (EQ)
dan spiritual (SQ), agar sempurnalah sosok manusia Indonesia yang kita
citakan (insan kamil). Sisi emosional dan spiritual perlu mendapat
perhatian yang memadai dalam proses pembangunan manusia Indonesia ke depan.
Manusia yang cerdas paripurna itu akan lebih mampu menanggung beban dan
menghadapi segenap cobaan hidup (adeversity quotient/AQ) dalam menggerakkan
roda dan sebagai subyek pembangunan bangsa.
Manusia yang seimbang antara sisi
intelektual, emosional dan spiritual itu sangat menyadari posisi dirinya dan
tujuan yang akan dicapainya. Mereka tidak akan mudah mengalami krisis
identitas sebagaimana terlihat pada sebagian warga di sekelilingnya, sehingga
mereka dapat berperan sebagai unsur pengubah lingkungan dan pengarah
masyarakat untuk menuju masyarakat madani. Mereka juga menyadari betul agenda
reformasi yang harus diperjuangkan, dan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan
yang telah diproklamsikan sejak lama. Mereka tak mudah goyah dan larut dalam
perubahan zaman, bahkan menjadi pilar penjaga nilai-nilai perjuangan dan membuat
arus baru yang akan menyelamatkan masyarakat dari kebobrokan dan kehancuran
sosial.
Kedua, ruh dari peradaban madani
adalah keimanan. Manusia yang cerdas tidak hanya memikirkan kepentingan
dan keselamatan dirinya sendiri, tetapi memikirkan kepentingan dan
keselamatan masyarakat umum. Mereka melawan egoisme dan individualisme, lalu
bersungguh-sungguh menumbuhkan semangat kolektif dan solidaritas sosial tanpa
pamrih. Bagi insan kamil sebagai subyek masyarakat madani, kesalehan bukan
hanya semata bermakna ketaatan menjalankan ritual agama dan ketentuan hukum,
melainkan juga mengobarkan spirit agama yang membebaskan dan substansi hukum
yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Kesalehan (ascetism) berpangkal dari
iman (faith) dan taqwa (pious), yang akhirnya melahirkan tindakan nyata yang
bermanfaat bagi orang banyak. Karenanya menjadi jelas bila
Imtaq-spiritualitas-relijiusitas menjadi strategis dalam pembangunan
peradaban Indonesia madani.
Aktor pembangunan masyarakat
madani ialah mereka yang paling besar kontribusinya kepada masyarakat dan
mengimplementasikan ketaatannya kepada Sang Khalik dengan berbuat kebajikan
serta melayani semua makhluk. Kesalehan pribadi yang berakumulasi menjadi
kesalehan publik akan membentuk lingkungan yang positif untuk berkembangnya
seluruh potensi kemanusiaan (humanity) dan kewargaan (citizenry), melalui
cermin peningkatan etos kerja, sikap terbuka akan kreasi dan inovasi baru,
serta menguatnya solidaritas sosial.
Ketiga, tujuan akhir dari
peradaban Indonesia madani adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. yang
merupakan nilai-nilai luhur diferensiasi dari nilai keimanan. Manusia madani
berperan untuk menanggulangi krisis identitas dan modalitas bangsa; mengubah
kondisi keterbelakangan menjadi kemajuan budaya. Kemajuan personal tidak
hanya bersifat fisik, namun mengembangkan nilai-nilai universal kemanusiaan,
sehingga tiap warga menyadari fungsi dan peran hidupnya sebagai seorang
hamba, pemimpin, dan pembangun peradaban baru berbasis nilai-nilai keimanan.
Kemajuan kolektif juga tak hanya bersifat fisik dan material, melainkan
tumbuh suburnya nilai dan pranata keimanan, serta semakin menipisnya nilai
dan pranata keburukan dan kemungkaran. Kemajuan budaya bagi suatu bangsa
berarti bangsa ini menyadari kembali jati dirinya yang telah lama tererosi.
Jati diri itu antara lain sebagai
bangsa pejuang yang membenci segala bentuk penindasan, bangsa yang mandiri
dan menolak segala format ketergantungan, serta bangsa yang terbuka terhadap
perubahan dan menolak eksklusifisme atau fanatisme sempit. Bangsa yang maju
tak selalu berarti meninggalkan nilai-nilai relijius, tradisional dan lokal,
sepanjang itu masih mencerminkan substansi kebaikan dan kebenaran
universal. Namun, bangsa yang mau adalah bangsa, yang mampu memadukan
nilai-nilai modern yang lebih baik dengan warisan tradisional yang sesuai
tuntutan zaman, yang berbasis keimanan.
Dengan demikian peran Imtaq
menjadi urgen, strategis dan dominan dalam seluruh bangunan peradaban
Indonesia Madani. Imtaq menjadi ruh dan spirit peradaban Indonesia
madani, yang menyiadakan basis epos, etos dan elan vital dinamika
transformasi bangsa menuju keunggulan.
3.2 Peran Iptek
Sekarang, dimana peran Iptek dalam
pembangunan peradaban Indonesia Madani? Perlukah sebuah rekonstruksi
Iptek seperti di masa keemasan Islam?
Mungkin sulit kita mengulang
prestasi itu. George Sarton dalam Introduction: History of Science
mewakili setiap setengah abad dengan satu tokoh ilmuwan. Setelah abad
Yunani dan China, maka berturut-turut sejak tahun 750-1100 M disebut oleh
Sarton sebagai abad Jabir al Hayyan, Al Khawarizmi, Al Razi, Masudi, Ibnu
Wafa, Ibnu Sina, Al Biruni, Ibnu al Haytsam, dan Umar Khayam. Baru
sejak tahun 1100 M muncul nama-nama Eropa seperti Roger Bacon dan Gerard de
Cremona. Sampai 250 tahun setelah itu, pemikiran sains masih didominasi
oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Ibnu Rusyd, Nasiruddin Al Tusi, dan Ibnu
Navis.
Menurut Abdus Salam untuk maju di
bidang Iptek, maka diperlukan komitmen, kemandirian, orgaware yang kuat, dan
manajemen yang tangguh. Ketika Al Ma’mun (785-833M) berkuasa, komitmen
itu terlihat, karenanya harus diakui gerakan keilmuan Islam menampakkan
fajarnya. Al Kindi adalah tokoh rasional masa itu yang mengembangkan
filsafat (falasifah) dan salah satu tokoh gerakan penerjemahan sistematik.
Al Ma’mun mensponsori gerakan intelektual ini dan menghimpun para ilmuwan di
istananya serta membangun perpustakaan besar Bayt Al Hikmah. Dan
merupakan tokoh yang paling berpengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan umat
di Abad Pertengahan. Minat Al Ma’mun terhadap Astronomi, matematika dan
kedokteran dapat dengan mudah difahami, karena disiplin-disiplin ilmu ini
menyatu dalam kehidupan harian umat. Ia pun menerjemahkan banyak karya
filsafat Plotinus dan mazhab Alexandria lainnya. Pengembangan Iptek
Islam terus berlanjut. Bahkan pada masa kesultanan Buwaih—tiga abad
setelah Al Ma’mun—ilmu pengetahuan umat mencapai puncaknya. Filosof dan
ilmuwan Islam besar eksis pada masa ini seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al
Biruni dlsb.
Namun, kondisi umat kini sudah
berubah. Abdus Salam, peraih Nobel Bidang Fisika tahun 1979
bersama-sama Sheldon L. Glashow dan Steven Weinberg mengembangkan risetnya di
Cambridge University, London University dan ICTP (International Center for
Theorytical Physics) di Itali bukan di Pakistan. Al Azhar yang berumur
ratusan tahun masih harus kita tunggu prestasi keilmuan kauniyahnya.
Karenanya secara normatif dan
bahkan terbukti oleh sejarah, bahwa pembangunan peradaban material sangat
bertumpu pada pembangunan Iptek. Iptek adalah engine for
tommorow. Agar pembangunan Iptek memiliki dampak nyata bagi pembangunan
peradaban, maka ia harus bersinergi dan terintegrasi serta membentuk Sistem
Inovasi Nasional. Paling tidak ada 3 alasan yang menghajatkan orientasi
pembangunan Iptek menuju Sistem Inovasi Nasional.
Pertama Iptek adalah hasil olah
akal-budi yang mengelola ide menjadi penemuan (invention). Penemuan ini
akan menemui maknanya yang utuh dalam praksis (praxis) ketika menghasilkan
nilai tambah (value added) secara ekonomi-sosial-hankam. Proses value
creation inilah yang kita sebut sebagai inovasi (innovation). Dengan
demikian, Iptek akan bermanfaat dalam praksis kehidupan ketika ia telah
tumbuh menjadi inovasi.
Kedua, Iptek adalah hasil olah
akal-budi yang mengelola ide melalui suatu proses pembelajaran (learning)
yang terus-menerus melintasi ruang-waktu generasi. Ide dapat merambat
(menginspirasi), berkembang, dan saling menguatkan. Karenanya iklim
yang kondusif bagi penumbuhsuburan ide adalah ruang yang memungkinkan bagi
interaksi, sinergi, share dari ide-ide. Jaringan (network) yang
membentuk sistem untuk mengelola ide menjadi inovasi adalah sebuah
keniscayaan. Dengan demikian, pembangunan inovasi menuntut pendekatan
sistem.
Selain itu, Iptek bukanlah
sebuah sektor, seperti pertanian atau industri, tetapi serupa dengan
Lingkungan Hidup, Iptek adalah bidang pembangunan yang melekat pada setiap
sektor, merupakan factor sukses dari sektor-sektor tersebut. Pembangunan
Iptek secara sendirian dan mandiri akan menjadi "menara gading" dan
sebuah enclave. Namun tanpa Iptek, sektor-sektor lain tidak akan mampu
meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka. Secara lugas kita dapat
menempatkan Iptek sebagai engine of growth dan power for
competitiveness. Karenanya pembangunan Iptek dan penguatan Sistem
Inovasi Nasional menuntut koordinasi dan sinergi.
Ketiga, Reformasi adalah proses
yang mengokohkan demokratisasi yang berujung pada peningkatan kesadaran
publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran ini
menghasilkan peningkatan aspirasi dan kontribusi (peran) masyarakat dalam
pembangunan nasional. Karenanya pendekatan para pihak (multi stake
holders) dalam mengelola pembangunan menjadi prasyarat yang makin
menonjol. Dengan demikian pembangunan Iptek akan lebih diorientasikan
untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat (demand driven oriented), ketimbang
mengembangkan pendekatan yang berat ke arah supply push technology (market
pull).
Keempat, perkembangan global yang
makin cepat, kesadaran publik yang makin tinggi, serta diferensiasi tugas
komponen negara yang semakin tajam menuntut redefinisi peran Negara.
Semakin maju suatu bangsa, maka peran Negara harus semakin efisien pada
wilayah-wilayah strategis saja. Dengan demikian, negara akan lebih
diposisikan menjadi stabilisator, fasilitator dan dinamisator.
Pelaku utama perubahan
(transformasi) adalah masyarakat. Karenanya diffusion oriented yang
menyebarkan hasil-hasil riset dan teknologi ke dalam masyarakat, sehingga
dapat langsung dimanfaatkan untuk kepentingan daya saing industri, layanan
masyarakat atau national security menjadi lebih mendapat prioritas.
Dengan demikian, kunci sukses
untuk mengintegrasikan Iptek dengan peradaban masyarakat madani adalah
inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, dan
untuk memacu pertumbuhan menjadi bangsa yang terhormat, maju dan
kompetitif. Sistem inovasi nasional mesti dibangun dan menjadi bagian
integral dari peradaban kita. Artinya kita akan membangun bangsa
inovasi (innovation nation) sebagai pilar kokoh bagi peradaban Indonesia
madani.
Terkait dengan kinerja Sistem
Inovasi Nasional kita, saya ingin mengungkap data dari Global Competitiveness
Index (WCI), World Economic Forum (WEF). Pada tahun 2010, peringkat daya saing
Indonesia meningkat dari urutan ke-54 menjadi peringkat ke-44. Dari 12
pilar yang ada dalam Global Competitiveness Index, untuk pilar Kesiapan
Teknologi (technological readiness) kita menempati peringkat ke-91, berada di
bawah negara-negara ASEAN, kecuali terhadap Filipina. Technological
readiness adalah indikator yang mencerminkan sejauh mana industri maupun
masyarkat kita, secara umum, mempunyai kesiapan untuk menyerap teknologi
dalam rangka meningkatkan produktifitas industri dan kemampuan ekonomi
mereka. Rendahnya aspek ini menunjukkan bahwa industri dan masyarakat kita
secara umum belum banyak memanfaat teknologi, baik teknologi yang
dikembangkan di dalam negeri, maupun teknologi yang didatangkan dari luar
negeri. Sedang untuk pilar Inovasi, Indonesia menempati peringkat ke-36,
berada di atas negara-negara ASEAN, kecuali Singapura dan Malaysia. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak bangsa dalam pengembangan inovasi
sesungguhnya tidak perlu diragukan.
3.2 Kualitas Aktor Madani
Selain faktor-faktor nomatif di
atas, untuk mewujudkan pembangunan peradaban Indonesia madani, para aktornya
harus memiliki kredebilitas yang cukup (credibility agent of change).
Tanpa syarat kualitas ini, maka peradaban yang dicitakan tidak akan pernah
terwujud apalagi membawa berkah bagi kehidupan kolektif. Tiga syarat
kredibilitas itu adalah: integritas, akseptabilitas dan
profesionalitas.
Pengemban perubahan peradaban
Indonesia madani mesti mempunyai integritas yang tinggi, baik dalam aspek
moralitas (ilahiyah), humanitas (insaniyah) maupun nasionalitas (wathoniyah),
sehingga kita memiliki vision, value dan commitment yang kokoh.
Kredibilitas personal ini adalah modal dasar terkait sikap dan karakter,
sekaligus sebagai komitmen nilai. Integritas moral menjamin para aktor
perubahan ini untuk tidak menyimpang dari garis akhlak yang diturunkan dari
langit, bahwa kita tidak diciptakan selain untuk beribadah kepada-Nya.
Integritas kemanusiaan membekali kita dengan budi pekerti kemanusiaan, bahwa
kita adalah makhluk Tuhan yang satu, yang wajib at-taawun alal birri wa taqwa
(tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan), dengan visi kemanusiaan untuk
memuliakan manusia. Integritas kebangsaan membekali para aktor
perubahan akan wawasan kesatuan nasionalitas-Nusantara, bahwa Indonesia
terdiri dari bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan bahasa yang satu,
sehingga kita visi nasional yang kokoh untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur.
Aktor perubahan peradaban
Indonesia madani haruslah memiliki akseptabilitas yang tinggi, sehingga
mereka dapat diterima dengan tulus oleh masyarakatnya. Kredibilitas
sosial ini harus diraih melalui interaksi dan berdasar pada ruh kepeduliaan
terhadap sesama. Kesetiakawanan sosial adalah semangat yang hidup dan
tumbuh dari habituasi dalam kolektifitas, bukan sesuatu yang bisa
dibuat-buat. Kualitas empati dan emotional quotion menjadi dasar bagi
aktor perubahan Indonesia madani meraih simpati sosial ini.
Dan terakhir, aktor perubahan
peradaban Indonesia madani haruslah memiliki profesionalitas yang tinggi,
sehingga mereka dapat diterima publik berbasis merit system, berbasis
kualitas kepakaran bukan koneksitas. Kredibilitas profesional ini harus
dibangun aktor perubahan Indonesia madani melalui bahan dasar
kompetensi-ekspertis, kemampuan manajemen, strategic thinking, dan sikap open
mind.
Dalam konteks Indonesia hari ini,
satu hal lagi yang harus ditambahkan, bahwa pembangunan peradaban Indonesia
madani menuntut sinergitas sosial yang tinggi. Bangsa yang besar ini,
dengan potensi kekayaan alam yang berlimpah, potensi kebudayaan yang
mengagumkan, dengan luas teritorial yang membentang, jumlah penduduk yang
besar, dengan ukuran ekonomi (economic scale) raksasa membutuhkan kolaborasi
unsur-unsurnya secara optimal, agar kita tidak terjebak pada zero sum
game—lost-lost solution—atau saling menyandera. The giant sleep ini
harus dibangunkan lalu berdiri kokoh seperti kal bunyanun marshuus (bangunan
yang kokoh), bekerja produktif ibarat kal syajarrot thoyyibah (pohon yang
baik), dan solid seperti kal jasadu wahid (badan yang satu).
4. PENUTUP
Membangun peradaban Indonesia Madani memerlukan dukungan Imtaq dan
Iptek. Karena sudah sangat jelas pilar utama masyarakat madani adalah
SDM-manusia. Manusia yang terdiri dari darah dan daging, dapat tegak
berdiri hanya dan hanya jika “ruh” ada di dalamnya. Kekuatan ruh
menjelma dalam akal (rasio) dan hati (mind). Itulah mengapa Imtaq
dan Iptek menjadi kepakan dua sayap, yang harus mengembang secara harmonis,
sebab yang kita ingin bangun adalah peradaban yang digusung oleh manusia yang
memiliki Integritas (Ilahiyah-Insaniyah-Wathoniyah), Akseptabilitas –
dan Profesionalitas ”--manusia yang punya kredibilitas (intelek sekaligus
relijius). Pembangunan peradaban madani bukan hanya memerlukan kecerdasan
akali tetapi juga qolbi—bukan hanya rasional-intelektual, tetapi juga sarat
aturan moral-spiritual. Inilah pembangunan yang bukan hanya menuai
keberkahan “bumi”, tetapi jugas restu dari “langit”, amin ya rabbal ‘alamin.
#
Wassalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.
Menteri Negara Riset dan Teknologi Suharna Surapranata |
Saturday, October 22, 2011
PERANAN IMTAQ DAN IPTEK DALAM MEMBANGUN PERADABAN INDONESIA MADANI
Friday, October 21, 2011
Potensi Budidaya Rumput Laut
Budidaya Rumput Laut
Dalam
pembangunan diwilayah pesisir, salah satu pengembangan kegiatan ekonomi yang
sedang digalakkan pemerintah adalah pengembangan budidaya rumput laut. Melalui
program ini diharapkan dapat merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi wilayah
akibat meningkatnya pendapatan masyarakat setempat.
Pengembangan
budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya
merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke arah budidaya
rumput laut yang ramah lingkungan dan usaha budidaya ini dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat digunakan untuk mempertahankan
kelestarian lingkungan perairan pantai (Ditjenkan Budidaya, 2004).
Pengembangan
budidaya rumput laut merupakan salah satu alternative pemberdayaan masyarakat
pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal : (1) produk yang dihasilkan
mempunyai kegunaan yang beragam, (2) tersedianya lahan untuk budidaya yang
cukup luas serta (3) mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan (Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2001).
Biologi Rumput Laut
Rumput laut
merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam divisio thallophyta.
Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus,
bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti
tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus
ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel
(multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (duadua
terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate
(berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana
tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak
seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous},
lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous)
dan sebagainya (Soegiarto et al, 1978).
Sejak tahun 1986
sampai sekarang jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Kepualauan
Seribu adalah jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis Eucheuma
cottonii ini juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii. Menurut
Dawes dalam Kadi dan Atmadja (1988) bahwa secara taksonomi rumput laut
jenis Eucheuma dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio Rhodophyta
Kelas Rhodophyceae
Ordo Gigartinales
Famili Solieriaceae
Genus Eucheuma
Spesies Eucheuma cottonii
Genus Eucheuma
merupakan istilah popular di bidang niaga untuk jenis rumput laut penghasil
karaginan. Nama istilah ini resmi bagi spesies Eucheuma yang ditentukan
berdasarkan kajian filogenetis dan tipe karaginan yang terkandung di dalamnya.
Jenis Eucheuma ini juga dikenal dengan Kappaphycus (Doty, 1987 dalam
Yusron, 2005).
Ciri-ciri Eucheuma
cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silindris
atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan
lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk
melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu
atau hijau kuning. Spina Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus
dan cabang-cabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau,
hijau kuning, abau-abu atau merah. Penampakan thallus
bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks (Ditjenkan Budidaya,
2004).
Kondisi Fisika,
Biologi dan Kimia Lingkungan
Keberhasilan
budidaya rumput laut dengan pemilihan lokasi yang tepat merupakan salah satu
faktor penentu. Gambaran tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk
budidaya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat
menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki. Lokasi
dan lahan budidaya untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma di
wilayah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi oseanografis yang
meliputi parameter lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan
(Puslitbangkan, 1991)
a. Kondisi Lingkungan Fisika
• Untuk
menghindari kerusakan fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh
angin topan dan ombak yang kuat, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari
hempasan ombak sehingga diperairan teluk atau terbuka tetap terlindung oleh
karang penghalang atau pulau di depannya untuk budidaya rumput laut (Puslitbangkan,
1991).
• Dasar perairan
yang paling baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah yang stabil
terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta
bebas dari lumpur,dengan gerakan air (arus) yang cukup 20-40 cm/detik
(Ditjenkan Budidaya, 2005).
• Kedalaman air
yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah antara 2-15 m pada
saat surut terendah untuk metode apung. Hal ini akan menghindari rumput laut
mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada waktu
surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara
langsung pada waktu air pasang (Ditjenkan Budidaya, 2005).
• Kenaikan
temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat
kekuning-kuningan yang menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik.
Oleh karena itu suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah
20-28°C dengan fluktuasi harian maksimum 4°C (Puslitbangkan, 1991)
• Tingkat
kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini
dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk kedalam air. Intensitas
sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama
dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi
tidak kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut
(Puslitbangkan, 1991).
b. Kondisi Lingkungan Kimia
• Rumput laut
tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang
masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Salinitas
yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara
sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 28- 35 ppt (Ditjenkan
Budidaya, 2005).
• Mengandung
cukup makanan berupa makro dan mikro nutrien. Menurut Joshimura dalam Wardoyo
(1978) bahwa kandungan fosfat sangat baik bila berada pada kisaran 0,10-0,20
mg/1 sedangkan nitrat dalam kondisi berkecukupan biasanya berada pada kisaran
antara 0,01-0,7 mg/1. Dengan demikian dapat dikatakan perairan tersebut mempunyai
tingkat kesuburan yang baik dan dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut.
c. Kondisi Lingkungan Biologi
• Sebaiknya
untuk perairan budidaya Eucheuma dipilih perairan yang secara alami
ditumbuhi oleh komonitas dari berbagai makro algae seperti Ulve, Caulerpa,
Padina, Hypnea dan lain-lain, dimana hal ini merupakan salah satu indikator
bahwa perairan tersebut cocok untuk budidaya Eucheuma. Kemudian
sebaiknya bebas dari hewan air lainnya yang besifat herbivora terutama ikan
baronang/lingkis (siganus. spp), penyu laut (Chelonia midos} dan
bulu babi yang dapat memakan tanaman budidaya (Puslitbangkan, 1991). Secara
umum di Indonesia, budidaya rumput laut dilakukan dalam tiga metode penanaman
berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan. Ketiga budidaya tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1) Metode Dasar (bottom
method)
Penanaman dengan
methode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada
karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar perairan. Metode dasar
merupakan metode pembudidayaan rumput laut dengan menggunakan bibit dengan
berat tertentu.
2) Metode Lepas
Dasar (off-bottom method)
Metode ini dapat
dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk
menancapkan patok/pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang
berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali
plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar
perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang
akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman
dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran yang berukuran 2,5x5 m2 dengan
lebar mata 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput laut
diikatkan pada simpul-simpulnya.
3) Metode Apung (floating
method)/ Longline
Metode ini cocok
untuk perairan dengan dasar perairan yang berkarang dan pergerakan airnya di
dominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakitrakit dari bambu sedang dengan
ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari ketersediaan material, tetapi
umumnya 2,5x5 m2 untuk memudahkan pemeliharaan. Pada dasarnya metode ini sama
dengan metode lepas dasar hanya posisi tanaman terapung dipermukaan mengikuti
gerakan pasang surut. Untuk mempertahankan agar rakit tidak hanyut digunakan
pemberat dari batu atau jangkar. Untuk menghemat area, beberapa rakit dapat
dijadikan menjadi satu dan tiap rakit diberi jarak 1 meter untuk memudahkan
dalam pemeliharaan. Bibit diikatkan pada tali plastik dan atau pada
masing-masing simpul jaring yang telah direntangkan pada rakit tersebut dengan
ukuran berkisar antara 100-150 gram.
Studi Analisis Pengembangan Budidaya Rumput Laut di
Kabupaten Kupang
Pemanfaatan
rumput laut sebagai bahan makanan kosmetika dan obatobatan tradisional sudah
lama dikenal oleh masyarakat. Sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan industri
yang memungkinkan untuk diekspor baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir
ini, sehingga merangsang pengembangan untuk budidaya rumput laut. Pengembangan
budidaya rumput laut di Kecamatan
Kupang Barat sangat perlu dilakukan mengingat besarnya potensi dan lahan yang
dimiliki adalah 149,72 km2 dengan perkiraan poduksi yang cukup besar (Anonim,
2003).
Kabupaten Kupang
merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas
wilayah adalah 5.898,18 km2 dan secara geografis terletak antara 09° 19'-10°
57' LS dan 121° 31'-124° ll' BT. Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak
dibagian barat Kabupaten Kupang dengan luas wilayah adalah 149,72 km2. Dengan
wilayah perairan yang luas dan strategis serta memiliki potensi sumberdaya
perairan yang cukup besar, maka perairan wilayah Kecamatan Kupang Barat perlu
dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan (Anonim, 2003). Pengembangan
budidaya rumput laut telah dilaksanakan sejak tahun 1968 oleh Lembaga
Penelitian Laut bekerjasama dengan Dinas Hidrografi Angkatan laut di Pulau Pari
Kepulauan Seribu melalui uji coba budidaya E. spinosum dan E.
edule yang bibitnya berasal dari perairan setempat. Kemudian dikembangkan
juga E. cottonii yang bibitnya berasal dari Bali yang hasilnya telah memasyarakat
sampai saat ini (Sulistijo, 1996).
Pertumbuhan dan Karaginan Rumput Laut
Pertumbuhan
adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang
dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thalus dan umur. Sedangkan faktor
eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan.
Namun demikian selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang sangat
menentukan keberhasilan pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang
dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan yang harus diperhatikan seperti
substrat perairan dan juga jarak tanam bibit dalam satu rakit apung (Syaputra,
2005).
Pertumbuhan juga
merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Ukuran bibit rumput
laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan bibit thallus
yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih
tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Menurut
Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan rumput laut yang dianggap
cukup menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per hari. Rumput laut
merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar
dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan
dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga
hasil yang diperoleh (Syaputra, 2005).
Soegiarto et
al, (1978), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara
2-3% per hari. Pada percobaan penanaman dengan menggunakan rak terapung pada
tiga lapisan kedalaman tampak bahwa yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm)
tumbuh lebih baik dari lapisan kedalaman dibawahnya karena cahaya matahari
merupakan faktor penting untuk pertumbuhan rumput laut. Pada kedalaman tidak
terjangkau cahaya matahari, maka rumput laut tidak dapat tumbuh. Demikian pula
iklim, letak geografis dan faktor oceanografi sangat menentukan pertumbuhan
rumput laut. Pertumbuhan rumput laut dikategorikan dalam pertumbuhan somatik
dan pertumbuhan fisiologis. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur
berdasarkan pertambahan berat, panjang thallus sedangkan pertumbuhan fisiologis
dilihat berdasarkan reproduksi dan kandungan koloidnya. Karaginan merupakan
getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies
tertentu pada kelas Rhodophycae (alga merah). Spesies Eucheuma cotonii merupakan
penghasil kappa karaginan sedangkan spesies Eucheuma spinosum merupakan
penghasil iota karaginan. Karaginan juga merupakan polisakarida yang berasal
dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota
karaginan dan cappa karaginan dimana kandungannnya sangat bervariasi
tergantung musim, spesies dan habitat. Dalam karaginan terdapat garam sodium,
potasiun dan kalsium. Karaginan potasiun yang terdiri dari alfa karaginan dan
B-karaginan sifatnya dapat larut dalam air panas, sedangkan karaginan sodium
dapat larut dalam air dingin (Percivel, 1968 dalam Iksan, 2005). Istilah
karaginan mencakup sekelompok polisakarida linear sulfat dari Dgalaktosa dan
3,6-anhidro-D-galktosa yang diekstraksi dari jenis-jenis alga merah (Glicksman,
1983 dalam Iksan, 2005). Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang
terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat dengan galaktosa
dan 3,6 anhydrogalaktocopolimer. Karaginan dapat diperoleh dari hasil pengendapan
dengan alkohol, pengeringan dengan alat (drum drying) dan pembekuan.
Jenis alkohol yang dapat digunakan untuk pemurnian yaitu metanol, ethanol dan
isopropanol.
Model-Model Kajian Dalam Pengembangan Budidaya
Rumput Laut
1. Model Sistem
Informasi Geografis
Model Sistem
Informasi Geografis (SIG) sebagai alat yang digunakan untuk pengumpulan,
penyimpanan, mendapatkan informasi dan menampilkan suatu data untuk tujuan
tertentu. Data yang dimaksud meliputi data spasial atau ruang maupun data
atribut. Pada prinsipnya sistem informasi geografis mempunyai beberapa langkah
yang berurutan dan berkaitan erat mulai dari perencanaan,
penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik, penggabungan peta,
mengedit hingga pemetaan secara otomatis (Burough, 1986 dalam Fatmawati,
1998).
Teknologi SIG
menjadi pilihan untuk menjawab permasalahan mengingat kemampuan yang
dimilikinya yaitu dapat menampung, menyimpan, mengolah dan memanipulasi data
spasial sehingga menghasilkan output sesuai dengan tujuan. Analisis keruangan (spatial
analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan dengan mudah dan cepat
serta tepat dengan menggunakan SIG dalam menentukan suatu kawasan.
2. Model
Konvensional
Model ini
merupakan suatu alat yang digunakan untuk pengumpulan dan mendapatkan informasi
suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data yang bersifat
kovensional dalam merencanakan peneltian. Dalam menganalisis suatu kawasan
untuk usaha sangat mudah dan cepat karna berdasarkan data survei namun tidak
menggunakan data atribut untuk pemetaan
suatu kawasan.
Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi
geografis sangat bermanfaat untuk penanganan data spasial daerah terutama untuk
penyimpanan, editing, penampilan, perubahan dan pemodelan. Fungsi dari
penyimpanan, editing, penampilan ini merupakan pengolahan data bagi presentasi
dan penyajian data sedangkan kegunaan untuk mengetahui perubahan sangat
bermanfaat untuk kegaitan monitoring, terutama variabel yang cepat berubah.
Pemodelan sangat penting untuk menghasilkan informasi baru untuk perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan usaha
untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam semaksimal mungkin untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah tanpa meninggalkan
aspek konservasi (Hartono,1995).
Menurut Burough,
(1986) dalam Fatmawati, (1998) bahwa system informasi geografis dapat
digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali informasi dan
menampilkan suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data
spasial atau ruang maupun data atribut. Pada prinsipnya sistem informasi
geografis mempunyai beberapa langkah yang berurutan dan berkaitan erat mulai
dari perencanaan, penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik,
penggabungan peta, mengedit hingga pemetaan secara otomatisasi.
Perolehan informasi
untuk pengelolaan lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan sangat
diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemrosesan, penelusuran dan
analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunaannya pada waktu
yang diinginkan, pengelolaan informasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan
SIG baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer (Dahuri et al, 2004).
Daya Dukung
Lingkungan
Dewasa ini
pemakaian daya dukung lingkungan dalam perencanaan suatu design budidaya
laut terus berkembang. Melihat perkembangan sektor budidaya laut saat ini dan
yang akan datang maka dalam mengembangkan suatu kawasan perairan sebagai lahan
untuk budidaya perlu membuat model-model estimasi yang disesuaikan dengan
kondisi wilayah. Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa
perairan pesisir memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme.
Konsep daya dukung yang digunkan dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah
konsep daya dukung ekologis. Daya dukung ekologis yaitu tingkat maksimum (baik
jumlah maupun volume) pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem yang
dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau wilayah sebelum terjadi penurunan
kualitas ekologis.
Menurut Turner,
(1988) dalam Rustam, (2005) bahwa daya dukung lingkungan adalah jumlah
populasi organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau
volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan
tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk
banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh
suatu habitat. Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang
diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan
makanan, ruang, siklus predator, temperatur, cahaya matahari atau salinitas
(Rachmansyah, 2004).
Konsep daya
dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya
perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan
lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan
atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka
nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam
jangka waktu yang lama.
Estimasi daya
dukung lingkungan perairan untuk menunjang kegiatan budidaya ikan laut di
keramba jaring apung (KJA) merupakan ukuran kuantitatif yang akan
memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang
telah ditentukan tanpa menimbulkan degredasi lingkungan dan ekosistem
sekitarnya (Piper et al, 1982 dalam Ali, 2003). Dalam hal
menentukan daya dukung lingkungan untuk kawasan budidaya rumput laut sebagai
bagian dari kegiatan
budidaya laut maka estimasi ini akan menunjukkan berapa unit rakit yang boleh
ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan.
Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan
Pembangunan
berkelanjuatan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa
menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(WCED,1987 dalam Dahuri et al, 2004) Konsep dasar pembangunan
berkelanjutan pertama kali dikemukan oleh "the club of Rome" pada
tahun 1972, diantaranya mengandung pesan penting bahwa sumberdaya
alam telah berada pada tingkat ketersediaan yang memprihatinkan dalam menopang
keberlanjutan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Pesan tersebut pada diskusi "Limits
to Growth" diawal tahun 1979-an berkembang membahas akibat
perkembangan ekonomi yang tidak dapat dikendalikan terhadap penurunan kualitas
lingkungan dan kehancuran sistem sosial secara
global yang diakhiri dengan dikelurkannya resolusi bahwa pembangunan ekonomi
harus berkelanjutan (Dahuri et al, 2004). Pengembangan budidaya
perikanan merupakan sistem usaha budidaya perikanan yang mampu menghasilkan
produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan dan berkelanjutan.
Untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan laut dan
payau seyogyanya berdasarkan pada : i) potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis
budidaya, ii) kemampuan masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan
teknologi budidaya, iii) pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara
terpadu dan iv) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan
menjadi leading sector (Dahuri, 2003).
Dalam kaitan
dengan pengelolaan wilayah pesisir, pembangunan berkelanjutan yang memberikan
semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya
alam yang ada didalamnya Konsep pembangunan berkelanjutan antara lain memiliki
dimensi ekologis, dimensi ekonomi, dimensi sosial-ekonomi, dimensi
sosial-politik serta dimensi hukum dan kelembagaan. Konsep pembangunan
berkelanjutan dari dimensi ekologis menjelaskan bagaimana mengelola semua
kegiatan pembangunan yang ada disuatu wilayah yang berhubungan dengan pesisir
agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya bagi kehidupan
manusia yang meliputi: jasa-jasa pendukung kehidupan; jasa-jasa kenyamanan;
penyedia sumberdaya alam dan penerima limbah (Dahuri et al, 2004).
Untuk mengelola
wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas
wilayah dpertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan yang di dalamnya termasuk
faktor hidrologi, ekologis maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan
karena aliran air yang berasal dari daratan yang akan mempengaruhi kawasan
perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir
tidak mengganggu siklus hidup hewan perairan, sedangkan batas administratif
diperlukan batas pengelolaan wilayah atau kawasan tertentu.
Menurut Dahuri et
al, (2004) bahwa hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang
baku, namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis
pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yaitu
batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis
pantai (cross shore). Selanjutnya bahwa untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah
pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan
pamanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah
pesisir secara berkelanjutan. Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten
di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah adalah 5.898,18 km2 dan
secara geografis terletak antara 09° 19'-10° 57' LS dan 121° 31'-124° ll' BT.
Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak dibagian barat Kabupaten Kupang dengan
luas wilayah adalah 149,72 km2. Dengan wilayah perairan yang luas dan strategis
serta memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar, maka peraiaran wilayah Kecamatan
Kupang Barat perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan
(Anonim, 2003). Pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat merupakan
salah satu konsep pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah dalam upaya
untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekitar pesisir.
Sumber: www.damandiri.or.id/file/
Tuesday, October 18, 2011
TEKNOLOGI KOMPLEMEN TERBARU PENDETEKSI TSUNAMI
Ina-TEWS
adalah suatu system peringatan dini tsunami yang komprehensif, yang di dalamnya
telah diterapkan teknologi baru yang dikenal dengan Decision Support System (DSS). DSS
adalah sebuah sistem yang mengumpulkan semua informasi dari hasil sistem
monitoring gempa, simulasi tsunami, monitoring tsunami dan deformasi kerak bumi
setelah gempa terjadi. Kumpulan informasi ini merupakan faktor-faktor pendukung
untuk menyiarkan berita peringatan dini tsunami dan evaluasi peringatan dini
tsunami. Dari sistem monitoring tersebut, DSS
akan mengeluarkan beberapa jenis berita atau peringatan dini yang harus diambil
oleh operator pada waktu yang ditentukan melalui GUI (Graphic User Interface).
Ina-
TEWS mampu memberikan peringatan dini tsunami dalam waktu lima menit setelah
kejadian gempa bumi yang berpotensi membangkitkan tsunami. Ina-TEWS dibangun Pemerintah
Indonesia dengan melibatkan 18 institusi Pemerintah, dan didukung finansial
maupun teknologi dari 5 negara donor, yaitu Jerman, Cina, Jepang, Amerika
Serikat dan Perancis dan telah diresmikan pada November 2008 oleh Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono. (id.wikipedia.org)
Terdapat dua komponen utama dalam sistem
Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS), yaitu komponen
struktural dan kultural. Dalam komponen struktural sendiri terdapat tiga
bagian yang berperan yaitu seismometer yang dioperasikan oleh Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), alat pasang surut yang
dipasang di pantai-pantai dan dioperasikan oleh Bakosurtanal serta
Tsunami Buoy,kata Kepala Program Operasi Ina Buoy TEWS BPPT, Wahyu
Pandoe saat diwawancara oleh salah satu stasiun televisi swasta mengenai
Buoy Tsunami hasil kerekayasaan BPPT (18/03).
Buoy
Tsunami , lanjut Wahyu, berfungsi untuk mendeteksi ada atau tidaknya gelombang
tsunami. Perlu dicatat, yang mendeteksi sebenarnya bukan buoynya, tetapi Ocean
Bottom Unit atau OBU yang diletakkan di dasar lautlah yang dapat mendeteksi
ada atau tidaknya gelombang tsunami, jelasnya.
OBU
secara aktif mengirim data melalui underwater acoustic modem ke tsunami
buoy yang terpasang di permukaan laut. Tsunami Buoy sendiri berperan sebagai
penerima data dari OBU. Kemudian, tsunami buoy mentransmisikan data tersebut
via satelit ke pusat pemantau tsunami Read Down Station (RDS) di Gedung
I BPPT lantai 20. Buoy yang dipasang di dekat sumber gempa dan tsunami, bekerja
berdasarkan gelombang tsunami atau anomali elevasi muka air laut yang dideteksi
oleh sensor yang ditempatkan di OBU.
Alat
inilah yang berfungsi merekam kedatangan gelombang tsunami. Bilamana terjadi
perubahan air laut yang tiba-tiba, itu salah satu indikasi yang menandakan
adanya tsunami. Sistem ini kemudian akan berubah menjadi tsunami warning yang
berupa data gelombang akustik kemudian dikirimkan ke buoy. Dari buoy lalu akan
dikirim ke salah RDS di BPPT, tutur Wahyu.
Buoy di perairan Indonesia
Buoy yang sekarang dioperasikan di perairan Indonesia terdiri dari empat jenis, yaitu Buoy Tsunami Indonesia, Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART) Amerika, German-Indonesian Tsunami Warning System (GITWS) dan Buoy Wavestan.
Buoy yang sekarang dioperasikan di perairan Indonesia terdiri dari empat jenis, yaitu Buoy Tsunami Indonesia, Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART) Amerika, German-Indonesian Tsunami Warning System (GITWS) dan Buoy Wavestan.
Sejak
tahun 2006, kita sudah memasang buoy di 17 titik dari barat Sumatera
hingga ke daerah perairan timur Indonesia. Meskipun sudah banyak yang
terpasang, namun seringkali buoy-buoy tersebut mengalami kerusakan
ataupun hilang. Seperti yang di Laut Flores, kita sudah melakukan tiga
kali pemasangan dan tiga kali itu pula mengalami kerusakan dan
pengerusakan. Begitu pula yang ada di Mentawai dan selatan Cilacap.
Seringkali ditemukan buoy-buoy tersebut mengalami kerusakan sehingga
mesti sering ditarik untuk dilakukan perbaikan, katanya.
Oleh karena itu, lanjut Wahyu, sangat diharapkan bantuan masyarakat khususnya nelayan dalam menjaga buoy tsunami di laut. Karena alat ini satu-satunya alat di laut yang dapat mengkonfirmasi ada atau tidaknya tsunami. Dengan terjaganya buoy tsunami ini, maka akan sangat menolong keselamatan masyarakat, terutama yang ada di pesisir.
Oleh karena itu, lanjut Wahyu, sangat diharapkan bantuan masyarakat khususnya nelayan dalam menjaga buoy tsunami di laut. Karena alat ini satu-satunya alat di laut yang dapat mengkonfirmasi ada atau tidaknya tsunami. Dengan terjaganya buoy tsunami ini, maka akan sangat menolong keselamatan masyarakat, terutama yang ada di pesisir.
Untuk
kedepannya, jelas Wahyu, akan dilakukan pengembangan dalam sistem Ina
TEWS yaitu dengan menggunakan sistem kabel laut. Jadi dari OBU yang
ditempatkan di laut dalam, akan dihubungkan ke tower atau mercusuar di pantai dengan menggunakan kabel, dan diteruskan ke stasiun RDS di BPPT.
Direncanakan sistem kabel laut ini akan diterapkan di lima titik awal yaitu Ujung Kulon, Pulau Enggano Bengkulu, selatan dan utara Pulau Siberut, serta Pulau Rondo. Dengan adanya kabel laut ini bukan berarti kita menghilangkan peran buoy. Buoy tetap dipasang, namun sistem kabel laut digunakan sebagai komplemen. Indikatornya adalah buoy untuk mendeteksi tsunami yang sifatnya long distance atau tsunami jarak jauh. Sementara sistem kabel ini diharapkan bisa mendeteksi tsunami lokal atau urgent tsunami, tutup Wahyu.
(Sumber: http://www.bppt.go.id)
Direncanakan sistem kabel laut ini akan diterapkan di lima titik awal yaitu Ujung Kulon, Pulau Enggano Bengkulu, selatan dan utara Pulau Siberut, serta Pulau Rondo. Dengan adanya kabel laut ini bukan berarti kita menghilangkan peran buoy. Buoy tetap dipasang, namun sistem kabel laut digunakan sebagai komplemen. Indikatornya adalah buoy untuk mendeteksi tsunami yang sifatnya long distance atau tsunami jarak jauh. Sementara sistem kabel ini diharapkan bisa mendeteksi tsunami lokal atau urgent tsunami, tutup Wahyu.
(Sumber: http://www.bppt.go.id)
Rumput Laut / Alga (Seaweed)
FOTO LAINNYA | ||||||||||||
boergeseniaforbesii1.bmp | boergeseniaforbesii2.bmp | boergeseniaforbesii3.bmp |
Alga Coklat:
Daftar Jenis ALGA COKLAT: | ||
Cystoseira sp. | Sargassum crassifolium | |
Dictyopteris sp. | Sargassum cristaefolium | |
Dictyota bartayresiana Lamouroux | Sargassum duplicatum J.G. Agardh | |
Hormophysa cuneiformis | Sargassum echinocarpum | |
Hormophysa triquetra (C. Agardh) | Sargassum plagyophyllum (Mertens) | |
Hydroclathrus clatratus (C. Agardh) | Sargassum polycystum | |
Oseng | Turbinaria conoides (J. Agardh) | |
Padina australis Hauck | Turbinaria decurens (Bory) | |
Sargassum binderi (Sonder) | Turbinaria murayana | |
Sargassum cinereum J.G. Agardh | Turbinaria ornata (Turner) J. Argadh |
Cystoseira sp.Nama Latin: Cystoseira sp; | Cystoseira_sp.gif |
Spesifikasi: Ciri-ciri umum. Alge tegak, warna coklat, sumbu tegak silindris, 'daun' bagian bawah besar seperti pita, bertepi rata, tersusun berhadapan atau agak berseling, vesikula oval atau bulat tersusun berseri, 2-3 deret, ujungnya runcing, reseptakel seperti t Sebaran: Habitat. Hidup mulai dari zona pasang surut bagian tengah hingga subtidal. Sering ditemukan dalam kolam-kolam besar pasang surut yang berdasar karang. Sebaran. Cosmopolitan di perairan tropis hingga subtropis. Kurang banyak ditemukan di peraira Potensi: Belum dimanfaatkan |
FOTO LAINNYA | |||
cystoseira3.bmp | cystoseirasp1.bmp | cystoseira2.bmp |
Alga Merah:
Daftar Jenis ALGA MERAH: | ||
Acanthophora muscoides | Gracilaria foliifera (Forsskal) Boergese | |
Acantophora specifera | Gracilaria gigas Harvey | |
Actinotrichia fragilis (Forsskal) | Gracilaria salicornia | |
Amphiora peruana | Gracilaria salicornia (C. Agardh) Dawson | |
Amphiroa beauvoisii Lamouroux | Gracilaria verrucosa | |
Amphiroa rigida | Halymenia durvillaei | |
Amphiroa sp. | Halymenia harveyana J. Agardh | |
Ceratodityon variabilis | Hypnea asperi Bory | |
Chondrococcus hornemannii | Hypnea cervicornis J. Agardh. | |
Corallina sp. | Hypnea cornuta | |
Eucheuma denticulatum | Jania adherens | |
Eucheuma edule | Kappaphycus alvarezii (Doty) | |
Eucheuma edule Koetzing | Kappaphycus cottonii | |
Eucheuma serra J. Agardh | Kappaphycus striatum | |
Galaxaura filamentosa Chou | Laurencia elata | |
Galaxaura Kjellmanii Weber van Bosse | Laurencia intricata Lamouroux | |
Galaxaura rugosa (Solander) Lamouroux | Laurencia nidifica J. Agardh. | |
Galaxaura subfruticulosa Chou. | Laurencia obtusa (Hudson) Lamouroux | |
Galaxaura subvefficillata Kjellman | Laurencia poitei | |
Galaxaura vietnamensis Dawson | Liagora divaricata Tseng | |
Gelidium latifolium | Porphyglossum zolingerii | |
Gelidium Sp | Porphyra sp. | |
Gigartina affinis Harvey | Porphyra sp. fase conchocelis | |
Gracilaria arcuata Zanardini | Portieria hornemanii | |
Gracilaria coronopifolia J. Agardh. | Rhodimenia sp. | |
Gracilaria eucheumioides Harvey | Rhodymenia palmata (Linnaeus) Greville | |
Gracilaria foliifera (Forsskal) Boergese | Titanophora pulchra Dawson |
Acanthophora muscoidesNama Latin: Acanthophora muscoides; | Acanthophora muscoides.gif |
Spesifikasi: Thallus silindris, berduri tumpul seperti bulatan lonjong merapat yang terdapat di hampir seluruh permukaan thalli. Percabangan tidak teratur, gembal merimbun di bagian atas rumpun, warna coklat tua. Tinggi rumpun dapat dapat mencapai sekitar 15 cm. Sebaran: Tumbuh melekat pada batu di daerah rataan terumbu, biasanya di tempat yang selalu tergenang air dan sering terkena ombak langsung. Sebarannya tidak seluas A. spicifera, agak terbatas pada tempat tertentu saja, misal di Kepulauan Seribu. Potensi:Belum dimanfaatkan Sumber: http://www.iptek.net.id |
Monday, October 17, 2011
Konsep Budidaya Udang Windu Ramah Lingkungan
Tawarkan Konsep Budidaya Udang Windu Ramah Lingkungan, Fakhrudin Al Rozi Raih Juara Nasional
Pria kelahiran Bantul, 10 Januari 1985 ini dalam karya tulisnya
yang berjudul ”Penerapan Budidaya Udang Ramah Lingkungan dan
Berkelanjutan melalui Aplikasi Bakteri Antagonis untuk Biokontrol
Vibriosis Udang Windu” menawarkan solusi penggunaan bakteri yang
terdapat di alam seperti Lactobacillus spp, Bacillus spp dan
Staphylococcus spp untuk menghambat pertumbuh bakteri vibriosis yang
bersifat merugikan petani dimana membunuh 90 persen populasi larva udang
windu yang berumur di bawah satu bulan.
”Pertumbuhan bakteri vibriosis ini sangat merugikan petani
tambak udang windu bahkan mengakibatkan gagal panen. Bakteri Vibrio ini
melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan
kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran,”
katanya.
Serangan bakteri vibriosis ini diakui Rozi, merupakan masalah
utama yang dihadapi petambak udang windu pada awal tahun 1990 hingga
sekarang. Penyakit ini di kalangan petani tambak lebih dikenal dengan
nama serangan penyakit udang menyala, karena udang yang sudah terserang
pada lingkungan gelap akan tampak bercahaya.
Sebelumnya, berbagai penelitian sudah dilakukan untuk
mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang
windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan
antibiotik dan bahan kimia kini tidak efektif lagi karena tidak
memberikan hasil yang memuaskan, yaitu pada dosis tertentu justru
berdampak negatif yaitu meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen
terhadap konsentrasi antibiotik.
Menurut Rozi, penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak
efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan, yaitu pada
dosis tertentu justru berdampak negatif karena meningkatkan resistensi
bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Sementara di
lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi
bumerang terhadap ekspor udang Indonesia.
”Di negara uni Eropa sudah menerapkan zero percent untuk penggunaan antibiotik pada udang windu,” tambahnya.
Diakui oleh anak ketiga dari empat bersaudara ini, udang windu
merupakan primadona komoditas perikanan yang sangat populer dan memiliki
nilai tinggi dalam perdagangan internasional. Sehingga usaha budidaya
udang windu berkembang cepat karena selain merupakan salah satu
komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor, udang windu juga
berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.
”Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging
ke produk ikan dan udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal ini
sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan
peningkatan ekspor,” jelasnya.
Diakui Rozi, pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen
biokontrol akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur,
mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta
sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem biosecurity
untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya
udang.
Adapun aplikasi bakteri antagonis dalam budidaya udang windu
dapat diterapkan dalam bentuk pembuatan pakan obat dengan menambah
probiotik dari bakteri antagonis. Sementara pada tahap pemeliharaan,
dapat dilakukan secara langsung melalui pemberian bakteri antagonis
dengan dosis tertentu. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Sumber : http://www.ugm.ac.id
Subscribe to:
Posts (Atom)